Makalah
ADMINISTRASI KEUANGAN NEGARA
“ U t a n g N e
g a r a ”
“Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Administrasi Keuangan
Negara”
Oleh :
MUHAMMAD SYARIF
AL-QADRI ( 214 101
040 )
PROGRAM STUDI ILMU
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU
ADMINISTRASI
UNIVERSITAS
LAKIDENDE
KONAWE
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Selawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam
makalah “Administrasi Keuangan Negara” kami
bermaksud membahas tentang permasalahan ekonomi terkait utang negara. Adapun tujuan selanjutnya adalah
untuk memenuhi tugas matakuliah Administrasi Keuangan Negara.
Makalah ini
akan menjadi bahan
masukan serta merupakan bahan tambahan
ilmu pengaetahuan dan wawasan para pembaca dalam
mengkaji Administrasi Keuangan Negara.
Setidaknya
dengan makalah ini, ada semacam pencerahan intelektual dalam menyuguhkan
motivasi yang intrinsik untuk segera mempelajari Administrasi Keuangan Negara sehingga
kita dapat meminimalisasi kesalahan, kekeliruan dan penyimpangan-penyimpangan
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Tentunya,
dalam makalah ini akan ditemukan kelemahan-kelemahan atau bahkan kekeliruan.
Dengan itu, kami sangat
berharap adanya masukan dari pembaca dan kritik konstruktif sebagai upaya
pembangunan mental guna penyempurnaan isi makalah ini.
Uepai, Mei 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah.................................................................................... 2
1.3 Tujuan
Penulisan ..................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Masalah Ekonomi .................................................................................... 3
2.2 Utang Luar Negeri .................................................................................. 3
2.3 Masalah Ekonomi “Utang Negara” ....................................................... 4
2.4 Sebab Terjadinya Masalah Ekonomi “Utang Negara”............................. 8
2.5 Dampak Terjadinya Masalah Ekonomi “Utang Negara” ....................... 8
2.6 Cara Mengatasi Masalah Ekonomi “Utang Negara” .............................. 9
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 12
3.2 Saran ........................................................................................................ 13
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara untuk mewujudkan tujuan
bernegara menimbulkan hak dan kewajiban Negara, yang perlu dikelola dalam suatu
sistem pengelolaan keuangan Negara. Pengelolaan keuangan Negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 perlu
dilaksanakan secara profesional, terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang diwujudkan dalam anggaran pendapatan
dan belanja Negara (APBN) sebagai landasan hukum pengelolaan keuangan Negara.
Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, ingin mencoba untuk dapat
membangun bangsa dan negaranya sendiri tanpa memperdulikan bantuan dari negara
lain. Tentu ini pernah dicoba. Namun ternyata Indonesia sulit untuk terus
bertahan ditengah derasnya laju globalisasi yang terus berkembang dengan cepat
tanpa mau menghiraukan bangsa yang lain yang masih membangun. Dalam kondisi
seperti ini, Indonesia akhirnya terpaksa mengikuti arus tersebut, mencoba untuk
membuka diri dengan berhubungan lebih akrab dengan bangsa lain demi menunjang pembangunan
bangsanya terutama dari sendi ekonomi nasionalnya.
Perekonomian merupakan bidang utama yang menopang kehidupan masyarakat. Di
Indonesia, perekonomian terus dikembangkan dalam rangka mewujudkan amanat
bangsa, yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Tetapi, itu semua tidak
terlepas dari masalah ekonomi di Indonesia.
Hutang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian
dari total hutang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Dalam jangka
pendek, hutang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya
menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiayaan
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar.
Berdasaarkan
paparan di atas kami bermaksud membahas tentang masalah administrasi keuangan
negara yang tidak terlepas dari masalah ekonomi dimana berkaitan dengan “Utang
Negara”.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa saja ciri-ciri atau sifat dari
masalah ekonomi?
2.
Apa yang menyebabkan terjadinya
masalah ekonomi “Utang Negara” ?
3.
Apa saja dampak dari masalah ekonomi
“Utang Negara”?
4.
Bagaimana cara untuk mengatasi
masalah ekonomi “Utang Negara”?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk dapat
mengetahui dan memahami ciri-ciri dan sifat masalah ekonomi.
2. Untuk dapat
mengetahui dan memahami penyebab terjadinya masalah ekonomi “Utang Negara”.
3. Untuk dapat
mengetahui dan memahami dampak apa saja yang diakibatkan oleh masalah ekonomi
“Utang Negara”.
4. Untuk dapat
mengetahui dan memahami bagaimana cara mengatasi masalah ekonomi “Utang
Negara”.
1.4
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah untuk bahan
masukan serta merupakan bahan tambahan
ilmu pengaetahuan dan wawasan para pembaca dalam mengkaji administrasi
keuangan negara terkait ermasalahan ekonomi dalam hal ini utang negara. Setidaknya
dengan makalah ini, ada semacam pencerahan intelektual dalam menyuguhkan motivasi
yang intrinsik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Masalah Ekonomi
Masalah
ekonomi adalah masalah yang lekat kaitannya dengan segala aktivitas untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, mulai dari jual beli, tawar-menawar, dan ekspor
impor.
a.
Ciri-Ciri
dan Sifat Masalah Ekonomi
-
Reproductive Debt, dijamin
seluruhnya oleh kekayaan negara dan sama besarnya.
-
Dead Weight Debt, Utang tanpa
jaminan kekayaan.
-
Pinjaman Sukarela dan Pinjaman
Paksa.
-
Pinjaman Dalam Negeri dan Pinjaman
Luar Negeri.
-
Suku Bunga Pinjaman.
2.2
Utang Luar Negeri
Utang luar
negeri atau dikenal dengan pinjaman luar negeri adalah setiap
penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan,
rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh
dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan
persyaratan tertentu. Utang luar negeri merupakan jenis pinjaman yang berasal
dari luar negeri dan memiliki persyaratan tertentu yang dibebankan kepada
pihak (negara) penerima utang tersebut. Dalam pengertian
anggaran negara, utang luar negeri disebut juga sebagai sumber pendanaan
alternatif yang digunakan untuk pembiayaan anggaran negara. Di satu sisi, utang
luar negeri dapat menjadi sumber pendanaan anggaran (APBN), akan tetapi di sisi
lain menjadi beban anggaran, karena dibebankan persyaratan pembayaran bunga dan
cicilan pokok utang luar negeri.
Keputusan
untuk mengambil utang luar negeri dikarenakan keterbatasan sumber-sumber
pendanaan ataupun pembiayaan di dalam negeri. Pemerintah membutuhkan pendanaan
yang cukup besar untuk sejumlah pengeluaran yang tidak bisa hanya mengandalkan
dari sumber penerimaan dalam negeri. Misalnya, untuk keperluan penyediaan
infrastruktur, pendanaan tahap awal pelaksanaan program pembangunan, dan
pendanaan dalam negeri lainnya. Idealnya pengeluaran hendaknya menyesuaikan
dengan besarnya sumber-sumber pendanaan di dalam negeri. Namun, melihat
dinamika pembangunan dan kebutuhannya akan membuka pilihan alternatif pendanaan
yang berasal dari luar negeri berupa utang.
Disebut
utang luar negeri, karena sumber diperolehnya pinjaman bersyarat tersebut
berasal dari luar negeri. Dalam pos APBN terdapat sumber pembiayaan yang
berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Bentuk utang luar negeri
dapat berupa dana segar ataupun berupa dana yang sudah dikonversikan ke dalam
bentuk program ataupun proyek tertentu. Bentuk lain dari utang luar negeri
dapat berupa surat-surat utang atau obligasi negara. Sekalipun tergolong utang
luar negeri, akan tetapi seperti surat utang ataupun obligasi negara memiliki mekanisme
pembayaran yang berbeda dengan utang luar negeri. Itu sebabnya, dalam
pencatatan maupun pelaporannya pada APBN dipisahkan antara utang luar negeri
dan pos surat-surat berharga negara.
Utang luar
negeri yang dibahas di sini adalah utang luar negeri pemerintah. Dalam hal ini,
pihak yang menerima dan atau mengajukan utang luar negeri adalah pihak
pemerintah. Selain utang luar negeri terdapat istilah lain yang disebut utang
luar negeri swasta di mana pihak yang mengajukan adalah pihak swasta di suatu negara.
Sekalipun berbeda, akan tetapi besarnya utang luar negeri swasta ini pun harus
dikendalikan oleh pihak pemerintah.
2.3 Masalah
Ekonomi “Utang Negara”
Mengalirnya
modal dari luar untuk membiayai pembangunan sudah ada sebelum tahun 1914.
Negara berkembang telah menyerap dana dari Inggris rata-rata 5% dari GNP,
Perancis 2% dan Jerman sebesar 3% dari GNPnya. Dalam perkembangan lebih lanjut,
pertumbuhan utang negara-negara berkembang semakin membengkak dalam kurun waktu
antara 1973-1974 yang kemudian disusul tahun 1979-1982.
Aliran modal
yang bukan didorong oleh tujuan untuk mencari keuntungan. Dana tersebut
diberikan kepada negara penerima atau dipinjamkan dengan syarat yang lebih
ringan daripada yang berlaku di pasaran internasional.
Menurut
Sukimo ditinjau dari sudut manfaat, ada 2 peran utama bantuan luar negeri,
yaitu untuk mengatasi masalah kekurangan tabungan. Selama tiga dekade
(1966-1996), perekonomian Indonesia tumbuh lebih dari 5% setahun. Prestasi yang
bersifat spektakuler dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi
negar-negara berkembangyang hanya sebesar 2,4% setahun pada periode tersebut
menempatkan Indonesia ke dalam kelompok pilihan perekonomian Asia yang
berkinerja tinggi (high-performing Asian economies) yang dicirikan adanya pertumbuhan
yang cepat dan ketidakmerataan pendapatan yang menurun.
Pertumbuhan
yang mengesankan tersebut diakibatkan oleh adanya berbagai instrumen kebijakan
yang konsisten selama periode tersebut, yang antara lain adalah :
1.
Kebijakan anggaran berimbang pada
tingkat daerah.
2.
Kebijakan pengendalian tingkat
inflasi yang relatif stabil sepanjang periode tersebut.
3.
Kebijakan sistem devisa bebas
disertai dengan pengelolaan yang sangat hati-hati terhadap defisit neraca
transaksi berjalan.
4.
Terus masuknya hutang luar negeri
dengan persyaratan lunak dan tingkat suku bunga yang rendah.
Krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997 merubah
keberuntungan Indonesia. Krisis ekonomi ditandai oleh krisis nilai tukar
rupiah terhadap dollar dan disusul dengan kelangkaan bahan-bahan kebutuhan
pokok. Walaupun perekonomian Indonesia telah empat tahun terjerat dalam krisis
ekonomi, namun silang pendapat tentang penyebab dan akibat krisis ekonomi bagi
perekonomian Indonesia masih tetap diperdebatkan (Daryanto 2000). Salah satu
alasan penyebab timbulnya krisis ekonomi yang diyakini oleh banyak ahli ekonomi
adalah strategi pembangunan ekonomi di masa lalu yang terlalu mengandalkan
hutang luar negeri. Hanya saja perlu dicatat bahwa sebelum krisis tampaknya
Indonesia tidak dianggap mempunyai masalah dalam creditworthiness yang
tercermin dari makin meningkatnya hutang luar negeri. Oleh karena itu banyak
pihak yang berpendapat bahwa hutang luar negeri ini diibaratkan sebagai pedang
bermata dua.
Meminjam ke luar negeri merupakan salah satu cara untuk
menutup defisit anggaran pemerintah.Penerimaan pemerintah dari pajak seringkali
tidak cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Pada sebagian besar
negara sedang berkembang termasuk Indonesia, defisit anggaran tersebut oleh
pemerintah negara yang bersangkutan ditutup dengan utang luar negeri. Utang
luar negeri pemerintah (ULNP) selain berdampak pada neraca pembayaran juga
berdampak pada kinerja anggaran pemerintah, untuk Indonesia adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena sebagai penutup defisit, ULNP ini
seolah-olah sebagai ‘penerimaan’ pemerintah, tetapi disisi lain pembayaran atas
utang menjadi beban APBN yang dicatat dalam pos pengeluaran. Sehingga terjadi
kausalitas antara penerimaan pinjaman dan kewajiban atas ULNP tersebut. Dengan
demikian komitmen untuk mendapatkan pinjaman akan terkait dengan kemampuan
membayar utang tersebut. kemampua membayar akan menentukan apakah utang
tersebutsolvent atau tidak.
Indonesia menggunakan hutang luar negeri untuk
mempercepat pembangunan ekonominya. Hutang luar negeri dimasukkan sebagai
penerimaan pemerintah dalam APBN setiap tahunnya. Sumber pinjarnan Indonesia
selama ini berasal dari negara-negara dan badan-badan bantuan multilateral yang
tergabung dalam Consultative Group for Indonesia 2)
atau CGI (sebelurnnya Inter Governmental Group on
Indonesia, IOGI). Dengan tingkat suku bunga yang rendah, tenggang
waktu (grace period) dan masa pembayaran cicilan pokok
dan bunganya yang cukup panjang, maka pinjaman dari COl merupakan sumber pembiayaan
utama.
Meskipun hutang luar negeri menjadi komponen yang
penting dalam struktur pembiayaan pembangunan, namun dalam menjalankan
kebijaksanaannya, pinjaman dana yang berasal dari luar negeri tersebut
didasarkan pada beberapa kriteria pokok yang tujuannya untuk menyelaraskan
antara kebutuhan akan pinjaman dana luar negeri dengan politik luar negeri yang
bebas aktif, sebagaimana telah digariskan dalam GBHN. Selain itu, efisiensi dan
efektifitas penggunaan dana menjadi pertimbangan utama, sehingga kriteria pokok
tersebut diarahkan pada tiga hal, yaitu: (1) bantuan luar negeri tidak boleh
dikaitkan dengan politik, (2) syarat-syarat pembayaran hams dalam batas-batas
kemampuan untuk membayar kembali, dan (3) penggunaan bantuan luar negeri
haruslah untuk pembiayaan proyek-proyek produktif dan bermanfaat.
Namun kenyataannya, ketergantungan Indonesia akan
hutang luar negeri semakin besar sehingga menjadi suatu "keharusan".
Terus masuknya hutang luar negeri dengan persyaratan lunak dan tingkat suku
bunga yang rendah melalui konsorsium IOGI dan COl merupakan instrument
kebijaksanaan yang konstan sejak awal Pemerintahan Orde Baru. Sebagai akibat
dari kemerosotan ekonomi Orde Lama dan menutup defisit anggaran pembangunan,
Pemerintah Orde Baru memerlukan pinjaman luar negeri untuk program stabilisasi
dan rehabilitasi perekonomian nasional. Dalam sidang pertama pada tahun 1967,
IGGI memutuskan memberikan bantuan sebesar US$ 200 juta. Jumlah tersebut sesuai
dengan persyaratan yang diinginkan oleh Indonesia yaitu persyaratan lunak, masa
pembayaran 25 tahun dan tenggang waktu 7 tahun, dan tingkat suku bunga 3 persen
per tahun. Sejak itu hutang luar negeri terus meningkat dan mencapai puncaknya
pada tahun anggaran 1981-1999, saat terjadinya krisis ekonomi.
Alasan mendasar dibutuhkannya hutang luar negeri
adalah karena tabungan domestik tidak mencukupi, yang menunjukkan bahwa upaya
pemerintah untuk memobilisasi dana domestik tidak pernah mengimbangi besarnya
kebutuhan dana untuk investasi. Kesenjangan antara tabungan dalam negeri baik
pemerintah dan swasta menyebabkan hutang luar negeri dan PMA merupakan suatu
"keharusan" bagi pembiayaan investasi.
Pada mulanya, kebijaksanaan hutang luar negeri hanya
untuk sektor publik. Hutang luar negeri BUMN tercatat dimulai tahun 1975, enam
tahun setelah pemerintah mulai berhutang. Meskipun hutang luar negeri BUMN
meningkat dari tahun ke tahun, namun peningkatan hutang BUMN tidaklah secepat
perilaku pemerintah dalam berhutang.
Swasta tercatat mulai berhutang ke luar negeri sejak
tahun 1981. Pada tahun 1997, hanya dalam tempo 17 tahun, hutang swasta sebesar
US$ 78,228 milyar sudah jauh lebih besar daripada hutang pemerintah sebesar US$
53,865 milyar yang sudah berhutang selama 29 tahun.
2.4 Sebab
Terjadinya Masalah Ekonomi “Utang Negara”
Ketidakefektifan
hutang luar negeri sebagai pemacu pembangunan ekonomi nasional disebabkan
beberapa faktor. Pertama, hutang luar negeri tidak dialirkan ke kegiatan
produktif yang bersifat cepat menghasilkan (quick yielding) atau
menghasilkan produk-produk yang bisa diekspor. Kedua, hutang luar negeri
dikorupsi oleh para pejabat dan kroni-kroninya. Pinjaman yang dikorup sekitar
30 persen. Ketiga, pemerintah Indonesia tidak mampu memanfaatkan hutang luar
negeri secara tepat dan efektif. Prioritas pembangunan ekonomi kurang tajam dan
tidak terfokus. Karena itu, penggunaan dan pinjaman luar negeri tidak berdampak
secara signifikan pada perbaikan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, penurunan
tingkat kemiskinan dan perbaikan kualitas hidup. Keempat, adanya moral hazard
para penguasa sehingga tidak ada dorongan yang kuat untuk melunasi
hutang-hutang yang ada dan malah cenderung memperbesarnya. Kelima, belum adanya
penegakan hukum yang kuat turut mempersubur penyalahgunaan dan kebocoran dalam
pengelolaan pinjaman luar negeri.
2.5 Dampak
Terjadinya Masalah Ekonomi “Utang Negara”
Dapat kita
pastikan apabila kita meminjam tanpa mengembalikan akan ada konsekuensinya dan
dampak buruk yang akan kita alami. Inilah yang dialami akibat negara berhutang
terus-menerus dan akhirnya hutang tersebut sulit untuk dibayar karena jumlahnya
sudah sangat banyak. Puncaknya terjadilah yang namanya krisis moneter, seperti
yang pernah terjadi pada zaman pemerintahan presiden Soeharto.
Penyebab
dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah,
hal ini dapat dilihat dari data-data statistik, tetapi terutama karena utang
swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah
sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar
dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya.
Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang
sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubu-tubi
terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri
dalam jumlah besar.
Seandainya
tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi
pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis.
Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikto ini
diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka
krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat
untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari
berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis
dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya
tergantung dari ketepatan diagnosa.
2.6 Cara
Mengatasi Masalah Ekonomi “Utang Negara”
Beberapa
skema tengah dipertimbangkan dan bahkan telah didiskusikan oleh Pemerintah
Indonesia dengan Negara-negara kreditur dan IMF untuk menyelesaikan persoalan
hutang luar negeri. Pertama, Pemerintah Indonesia telah meminta untuk melakukan
penjadwalan hutang. Namun demikian, Pemerintah Indonesia tidak bisa sepenuhnya
mendapatkan keringanan karena menurut ketentuan IMF, penundaan pembayaran
cicilan dan bunga akan menimbulkan implikasi moratorium. Hal ini berarti bahwa
Indonesia bisa terkena default dan akan sulit menerima kredit bam. Dalam kasus
penjadwalan hutang ini, Indonesia boleh menunda pembayaran cicilan pokok
pinjaman, namun tetap membayar bunga pinjaman.
Kedua,
Indonesia telah mengusulkan skema pengurangan hutang (debt
reduction) seperti yang pernah ditempuh oleh Afrika Selatan pada tahun
1982 dan pernah secara intensif dikampanyekan oleh Pemerintah Filipina sejak
tahun 1990an. Skema pengurangan hutang ini diajukan berdasarkan alasan
bahwa Pemerintah yang sekarang tidak harus menanggung beban hutang yang
dikorupsi oleh Pemerintah Orde Baru. Skema semacam ini disebut sebagai
skema odious debtatau hutang yang "menjijikkan". Hanya
saja hingga saat ini upaya ini agak sulit diterima oleh Negara kreditor karena
mereka beranggapan bahwa masalah korupsi hutang luar negeri adalah masalah
internal Indonesia. Namun demikian cara ini perlu terus dikampanyekan
Pemerintah.
Perkembangan
yang menarik adalah ada sejurnlah kreditor internasional yang tengah
mempertimbangkan pemberian pengampunan (debt forgiveness atauhair
cut) terhadap sebagian hutang luar negeri Indonesia. Jumlah yang layak
diampuni sekitar sepertiga dari hutang luar negeri yang menurut Bank Dunia
telah dikorup oleh rezim pemerintahan Soeharto.
Ketiga,
skema pengampunan hutang (debt forgiveness) dan penundaan
hutang (debt cancellation) tampakoya sulit
diterima oleh negara-negara kreditur. Di masa lalu, ketika tingkat
pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat cepat, agak janggal untuk
meminta penundaan dan pengampunan hutang, karena semua lembaga
keuangan internasional mempunyai keyakinan bahwa ekonomi Indonesia
begitu baik dan tidak ada alasan untuk melakukan penundaan
pembayaran. Jika cara ini ditempuh dikhawatirkan negara-negara kreditur
tidak akan memberikan pinjaman bam kepada Indonesia dan skema ini
bisa merusak citra Indonesia di mata internasional dan secara
ekonomi dan politik bisa berakibat fatal. Hanya saja,sekarang keadaannya sangat
berlainan, karena kita sudah terpuruk dan sudah mendapat bantuan
khusus dari IMF dan berbagai lembaga keuangan internasional untuk menopang
perekonomian kita. Oleh karena itu, upaya pengampunan hutang perlu
terus diupayakan untuk meringankan beban hutang Indonesia yang
sangat besar.
Karena
skema-skema penjadwalan hutang luar negeri yang diupayakan Indonesia di atas
belum sepenuhnya berhasil, maka pedu dilakukan berbagai upaya misalnya
pembelian kembali hutang (debt buybacks), pengalihan hutang ke
dalam obligasi (debt-for-equity swaps), pengalihan hutang
untuk alam (debt-for-nature-swaps) atau pengalihan hutang
untuk kemiskinan (debt-for-poverty-swaps).
Dengan debt
buybacks, debitur secara lang sung membeli kembali hutang yang tidak bisa
dibayar dengan harga diskon dari nilai mukanya. Dengan debt1or-equity-swaps, negara
debitur menukarkan hutangnya ke mata uang domestik dengan harga diskon. Mata
uang domestik ini dipergunakan kreditur untuk melakukan investasi di suatu
perusahaan di negera debitur. Dengan debt-for-nature swaps, suatu
kelompok yang bergerak dalam bidang konservasi dapat membeli hutang yang tidak bisa
dibayar, dan bunganya digunakan oleh Pemerintah perninjam untuk melindungi
lingkungan. Dernikian juga halnya dengan debtJor- poverty-swaps, negara
kreditur bisa membeli kembali hutang yang tidak bisa dibayar dengan harga
diskon, dan dikembalikan kepada negara debitur dengan ketentuan bahwa dana
tersebut harus digunakan untuk menanggulangi masalah kemiskinan.
Solusi yang
paling sederhana untuk mengatasi utang luar negeri adalah dengan mengoptimalkan
restrukturisasi utang, khususnya melalui skema debt swap, di mana sebagian
utang luar negeri tersebut dikonversi dalam bentuk program yang berkaitan
dengan pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan lingkungan, dan sebagainya. Selain
itu, perlu mengoptimalkan upaya meminta pemotongan utang atau meminta pembebasan
utang dengan memberi alasan logis dengan disertai fakta-faktanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kemampuan
Indonesia sebagai negara berkembang untuk meningkatkan tabungan dalam negeri
dan mengurangi jurang tabungan-investasi (saving-investment gap) hingga
saat ini masih rendah sehingga untuk biaya pembangunan harus ditutupi dari
pinjaman luar negeri.
Prinsip
anggaran berimbang yang dianut selama ini oleh Pemerintah Indonesia mempunyai
konsekuensi bahwa defisit anggaran yang terjadi secara reguler ditutup dari
hutang luar negeri.Peranan hutang luar negeri dikatakan ibarat pedang bermata
dua. Banyak yang berpendapat bahwa hutang luar negeri diyakini berdampak
positif bagi pembangunan.
Penyelesaian
masalah hutang luar negeri sangat membantu upaya menstabilkan perkembangan kurs
rupiah yang merupakan faktor penting dalam membawa ekonomi Indonesia keluar
dari krisis. Besarnya hutang luar negeri yang telahjatuh tempo terbukti telah
memperparah tekanan-tekanan terhadap rupiah. Untuk itu, upaya-upaya
menyelesaikan masalah hutang luar negeri swasta penting dilakukan. Kesepakatan
Frankfrut pada bulan Juni 1998 merupakan
salah satu wujud prakarsa penyelesaian masalah hutang yang mencakup penjadwalan
kembali hutang perusahaan-perusahaan swasta, penundaan pembayaran hutang perbankan,
dan penyediaan pembiayaan perdagangan (trade financing). Pembentukan
Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) merupakan salah satu
bagian dari kesepakatan Frankfurt.
Skema lain
yang dapat ditempuh adalah pemerintah perlu mencari sumber-sumber penerimaan
dalam negeri. Misalnya, meningkatkan sumber pendapatan dari dalam negeri,
khususnya pajak. Peningkatan pajak dapat dilakukan dengan ekstensiflkasi dan
intensiflkasi. Sampai saat ini rasio pajak (tax ratio) dan
rasio obyek pajak (coverage ratio) di Indonesia masih yang
paling rendah diantara negara-negara ASEAN. Tax ratio Indonesia
masih sekitar 11 persen. Thailand, Malaysia, Singapura masingmasing
mempunyai tax ratio sebesar 16.2 persen, 30.9 persen dan 20,3
persen. Oleh karena itu, peningkatan pajak mempunyai peluang yang sangat baik
sebagai substitusi hutang luar negeri untuk mempersempit kesenjangan
tabungan-investasi. Hanya saja perlu dihindarkan bahwa penarikan yang lebih
intensif dan perluasan obyek pajak jangan sampai menimbulkan ekonomi berbiaya
tinggi (high cost economy) yang justru mendorong
adanya disinvestasi dalam perekonomian kita.
Di masa yang
akan datang, hutang luar negeri masih tetap diperlukan dan bermanfaat sepanjang
hutang tersebut dikelola dengan baik dengan dukungan kebijaksanaan makroekonomi
yang tepat dan baik. Pemanfaatan hutang harus juga selektif, dan diprioritaskan
kepada sektor–sektor yang menciptakan efek ganda(multiplier effect) yang
besar dalam pemulihan perekonomian nasional.
3.2 Saran
Diharapkan
kepada pemerintah untuk tetap bekerja secara professional. Gunakan setiap dana
dengan bijak dan jujur. Dana pinjaman dari luar harus digunakan untuk
kesejahteraan rakyat bukan untuk diselewengkan atau disalahgunakan. Jadilah
bangsa yang membangun bangsanya dengan uang dari pendapatan negaranya sendiri
bukan menjadi Negara yang membangun dengan terus meminjam dana dari Negara
lain.
DAFTAR PUSTAKA
A.F.Elly
Erawati. 2003. Globalisasi Ekonomi Dan Perdagangan Bebas.
Suatu Pengantar dalam. Aspek Hukum dan Perdagangan Bebas.
Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas. Bandung
: Citra Aditya Bhakti.
Aminuddin,
Ilmar. 2004. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta : Prenada Media.
Hamid, Edy
Suadi. 2005. Ekonomi Indonesia dari Sentralisasi ke Desentralisasi. Yogyakarta
: UII Press Yogyakarta.
I.C.Rai
Widjaya. 2005. Penanaman Modal.Pedoman Prosedur Mendirikan dan menjalankan
Perusahaan Dalam Rangka PMA Dan PMDN. Jakarta : Pradnya Paramita.
Kartasoeputra,
Setiady, dkk. 1985. Manajemen Penanaman Modal Asing. Jakarta : PT.Bina Aksara.
Mardiasmo.
2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : Andi
Murtir
Jeddawi. 2005. Memacu Investasi di Era Otonomi Daerah,Kajian Beberapa Perda
Tentang Penanaman Modal. Yogyakarta : UII Press.
Wibowo,
Eddi. 2004. Hukum Dan Kebijakan Publik. Yogyakarta : Yayasan
Pembaruan Administrasi Publik Indonesia.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
Undang-Undang
No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal