Jumat, 23 Oktober 2015

Rangkuman Materi Perkuliahan Pend. Pancasila

Rangkuman Materi Kuliah
PENDIDIKAN PANCASILA




Oleh :

MUHAMMAD SYARIF AL-QADRI
12 06 00001



PROGRAM STUDI SENDRATASIK
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
CENDEKIA TUDAONE
KONAWE

2012




KATA PENGANTAR

 


Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan ringkasan materi matakuliah pendidikan pancasila ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
            Ringkasan materi kuliah ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Pend. Pancasila.
            Penulis menyadari bahwa ringkasan ini masih sangat jauh dari yang namanya kesempurnaan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan ringkasa materi matakuliah pendidikan pancasila ini.



Konawe, 14 November 2012

Penulis,




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii

I.              IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN POLITIK     1

II.           PANCASILA SEBAGAI IDOELOGI DALAM KEHIDUPAN EKONOMI 3


III.        PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN
SOSIAL...................................................................................................... 5

IV.        PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN BERBUDAYA       7

V.           IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN  PERTAHANAN KEAMANAN.............................................................. 10

VI.        IMPLEMENTASI NILAI MORAL PANCASILA DALAM PENDIDIKAN           16

VII.     PANCASILA DAN ERA GLOBALISASI ........................................... 23


VIII.  PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI .................... 28




I.              IDEOLOGI PANCA SILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN POLITIK.

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:

·         Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
·         Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
·         Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
·         Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
·         Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
~ nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).


II.           PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN EKONOMI.
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
III.        PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah:
1)      Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2)      Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
3)      Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
4)      Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
5)      Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

IV.        PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN BERBUDAYA.

a.      Idoelogi pancasila.
Ideology pancasila mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Oleh karena itu dalam ideology pancasila mengakui atas kebebasan hak-hak masyarakat. Selain itu bahwa manusia menurut pencasila memiliki kodrat sebagaimakhluk pribadi dan sebagai makhluk tuhan yang maha esa. Sehingga nilai-nilai ketuhanan senantiasa menjiwai kehidupan manusia dalam hidup Negara dan masyarakat. Kebebasan manusia dalam rangka demokrasi tidak melampaui hakekat nilai-nilai ketuhanan, bahkan nilai ketuhanan terjalma dalam bentuk moral dan ekspresi kebebasan manusia.
Berdasarkan sifatnya ideology pancasila bersifat terbuka yang berarti senantiasa mengantisipasi perkembangan aspirasi rakyak sebagai pendukung ideology serta menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Ideology pancasila senantiasa merupakan wahana bagi tercapainya tujuan bangsa.
Berdasarkan cirri khas serta proses dalam rangka membentuk suatu Negara, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu Negara yang memiliki suatu karakteristik, cirri khas dengan keanekaragaman, sifat dan karakternya, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu Negara yang mendasarkan filsafat pancasila.
b.      Factor-faktor yang menyebabkan masyarakat menolak kebudayaan.
Suatu prilaku atau budaya yang sudah menjadi kebiasaan akan sulit untuk diubah. Masyarakat lebih menyukai kehidupan mereka berjalan seperti biasa dan berusaha untuk mempertahankan hal-hal yang nyaman. Kondisi ini menjadi alasan bahwa adanya hal-hal baru pada awalnya cenderung ditolak. Sebagai contoh, orang tua kita menolak ketika kita meminta sebuah handphone baru. Bagi mereka, kita belum cukup dewasa untuk menggunakan alat komunikasi tersebut. Disinilah kebanyakan orang lupa bahwa alat komunikasi seperti handphone dibutuhkan hanya semata-mata sebagai alat penghubung antar manusia dalam berkomunikasi, dan tidak ada hubungannya dengan kedewasaan seseorang. Tentu seorang anak balita tidak mungkin menggunakan handphone, kerena belum mampu menguasai dan mengoperasikan alat tersebut. Pada umumnya masyarakat sulit mengikuti perubahan yang akan merubah kebiasaan. Namun ini tidak berarti bahwa semua perubahan selalu memdapat tentangan dari seluruh anggota masyarakat.
Ada lima factor penting yang sangat berperan dan berpengaruh ditolaknya unsure budaya baru yaitu :
1.      Kebiasaan masyarakat berhubungan dengan masyarakat yang berbeda kebudayaan. Sikap masyarakat yang terbuka beranekaragam kebudayaan, cenderung menghasilkan warga masyarakat yang lebih mudah untuk menerima kebudayaan asing atau baru. Sebaliknya, masyarakat yang tertutup lebih sulit membuka diri dan mengadakan perubahan. Terbuka dan tertutupnya sebuah masyarakat tidak harus melalui kontak social secara langsung. Akses terhadap media komunikasi juga menjadi factor penentu terbuka atau tertutupnya sebuah masyarakat.
2.      Unsur budaya baru titolak jika bertentangan dengan ajaran agama. Unsur budaya baru yang masuk diharapkan tidak merusak norma atau aturan yang ada.
3.      Corak struktur masyarakat  yang menentukan proses ditolaknya unsur kebudayaan baru. Msyarakat dengan struktur yang otoriter akan sukar menerima setiap unsur kebudayaan baru, kecuali kebudayaan baru tersebut langsung atau tidak langsung dirasakan manfaatnya oleh rezim yang berkuasa. Misalnya, Myanmar dewasa ini hidup dibawah control dan kendali kekuasaan rezim militer yang tidak demokratis. Seluruh aktifitas demokrasi seperti demonstrasi, kebebasan pers, rapat massa, mimbar bebas, bahkan ritual dan ajaran keagamaan semuanya di control pemerintah.
4.      Unsur kebudayaan baru mudah ditolak jika sebelumnya tidak ada unsure budaya yang menjadi landasan bagi diterimanya unsure baru tersebut. Misalnya, sudah adanya prasarana jalan yang bisa dilewati kendaraan bermotor di suatu daerah terpencil akan memudahkan masuknya kendaraan-kendaraan bermotor seperti sepeda motor atau mobil. Msyarakat setempatpun akan membeli kendaraan bermotor karena lebih memudahkan mobilitas social dibandingkan dengan sarana transportasi tradisional seperti kuda, dokar, dan sebagainya.demikian pula halnya dengan alat-alat elektronik seperti telepisi, VCD/DVD player, computer, lemari es, dan lain-lain akan mudah diterima kalau sudah ada jaringan listrik yang masuk.
5.      Unsur baru yang terbukti mempunyai kegunaan kongkrit dan terjangkau anggota masyarakat akan mudah diterima unsure budaya baru yang terbukti memberikan guna dan bias di jangkau. Sebaliknya unsure baru yang belum terbukti kegunaanya dan tidak terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat lebih sulit di terima.

V.           IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN PERTAHANAN KEAMANAN.

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu
pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan
ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,
kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan
tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai
kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
ü  Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar
negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup
manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a.       susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b.      sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c.       kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu: adanya perlindungan terhadap HAM, adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila:
1)      Ketuhanan Yang Maha Esa,
2)      Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3)      Persatuan Indonesia,
4)      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5)      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerjasama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut
untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan
pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada
kekuatan sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada
falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
VI.        IMPLEMENTASI NILAI MORAL  PANCASILA DALAM PENDIDIKAN.

Penerapan Filsafat Pancasila Dalam Pendidikan Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Hal tersebut sejalan dengan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut jelaslah bahwa pancasila adalah Landasan Filosofi Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan nasional merupakan suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya.
Sedangkan Pendidikan Nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita nasional Indonesia.
Sehingga Filsafat pendidikan nasional Indonesia dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa “Pancasila” yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.
Ketika berbicara pendidikan maka kita akan berbicara mengenai definisi pendidikan. Pendidikan merupakan aktifitas rasional yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya. Manusia belajar dengan otaknya melalu rangkaian kegiatan menuju pendewasaan untuk mencapai kehidupan yang lebih berarti.
Pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Karena itu diperlukan sejumlah landasan dan asas-asas tertentu dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Beberapa landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk menjemput masa depan.
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap.
Pancasila sebagai dasar dan landasan berbagai kehidupan bangsa lahir pada era kemerdekaan. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebenarnya sudah sejak dulu telah mendasari aspek-aspek kehidupan bangsa Indonesia. Hal tersebut tergambar dari kehidupan bernegara pada masa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.Pada era kebangkitan bangsa nilai-nilai pancasila telah menggugah kesadaran nasionalime bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Pancasila sebagai sistem filsafat adalah pengungkapan dan penelaahan dunia fisik dan dunia riil secara sistemik (menyeluruh) dan sistematis (teratur, tersusun rapi). Pancasila memberi ajaran tata hidup manusia budaya secara harmonis. Pancasila adalah filsafat keselarasan.
Pancasila sebagai sistem filsafat juga mempunyai ajaran-ajaran tentang metafisika dan ontologi Pancasila, aksiologi Pancasila dan logika Pancasila.
Pokok-pokok fikiran Pendidikan Nasional adalah:
1.      Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan disebut sistem Pendidikan Pancasila.
2.      Tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan.
3.      Fungsi pendidikan nasional Indonesia adalah untuk mengembangkan warga negara Indonesia, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat, mengembangkan bangsa Indonesia dan mengembangkan kebudayaan Indonesia.
4.      Unsur-unsur pokok pendidikan nasional adalah pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan watak dan kepribadian, pendidikan bahasa, pendidikan kesegaran jasmani, pendidikan kesenian, pendidikan ilmu pengetahuan, pendidikan keterampilan, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan kesadaran bersejarah.
5.      Asas-asas pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia adalah asas semesta, asas pendidikan seumur hidup, asas tanggung jawab bersama, asas pendidikan, asas keselarasan dan keterpaduan dengan ketahanan nasional dan wawasan nasional, asas Bhineka Tunggal Ika, Asas keselarasan, keseimbangan dan keserasian, asas manfaat adil dan merata.
Konsep  pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10).
Butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu : “Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”.
Lihat pula UU S pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut “Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan adalah suatu kebutuhan pokok bagi semua makhluk yang mempunyai alat berpikir, yaitu akal. Bagi semua orang devinisi dari pendidikan adalah menyekolahkan anak mereka  pada sebuah sekolahan yang memberikan ilmu pengetahuan bagi anak mereka tesebut.
Norma-norma PENDIDIKAN  tersirat dan tersurat dalam Bab XIII Pasal 31 UUD 1945, Sebagai berikut :
Pasal 31
1)      Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
2)      Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
3)      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
4)      Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5)      Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pendidikan (dalam segala jenisnya), sebagai sebuah pranata utama pembangunan sumber daya manusia, harus jelas berperan membentuk peserta didik menjadi aset bangsa. Dalam hal ini menjadikan manusia yang produktif dan berpenghasilan yang siap menghadapi persaingan pada pasar global.

VII.     PANCASILA DAN ERA GLOBALISASI.
a.      Pancasila
Pancasilan telah disahkan secara yuridis konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar Negara RI. Pada masa Orde baru Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ), disamping dasar negara juga diberi sebutan pandangan hidup, perjanjian luhur bangsa, tujuan yang hendak di capai, moral pembangunan, kepribadian bangsa indonesia, dan lain-lain.
Setelah lahirnya repormasi di keluarkanlah ketetapan MPR RI no. XVIII/MPR/1998, berisi tentang Pengembalian fungsi pancasila sebagai dasar negara, Penghapusan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan Penghapusan pancasila sebagai azas tungggal bagi organisasi sosial politik di indonesia.
Pancasila juga mempunyai fungsi yang tetap yaitu sebagai dasar negara dan juga sebagai ideologi bangsa dan negara.
b.      Era Globalisasi
Globalisasi adalah fenomena dimana batasan-batasan antar negara seakan memudar karena terjadinya berbagai perkembangan di segala aspek kehidupan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan terjadinya perkembangan berbagai aspek kehidupan khususnya di bidang iptek maka manusia dapat pergi dan berpindah ke berbagai negara dengan lebih mudah serta mendapatkan berbagai informasi yang ada dan yang terjadi di dunia. Namun fenomena globalisasi ini tidak selalu memberi dampak positif, berbagai perubahan yang terjadi akibat dari globalisasi sudah sangat terasa,baik itu di bidang politik,ekonomi,sosial,budaya,dan teknologi informasi. Berbagai dampak negatif terjadi dikarenakan manusia kurang bisa memfilter dampak dari globalisasi sehingga lebih banyak mengambil hal-hal negatif dari pada hal-hal positif yang sebenarnya bisa lebih banyak kita dapatkan dari fenomena globalisasi ini.
Menurut Kamus Dewan globalisasi didefinisikan sebagai fenomena yang menjadikan dunia mengecil dari segi perhubungan manusia disebabkan kepantasan perkembangan teknologi maklumat. Manakala cediakawan barat mentakrifkan globalisasi sebagai satu proses kehidupan yang serba luas dan infiniti merangkumi segala aspek kehidupan seperti politik, sosial, dan ekonomi yang boleh dirasai oleh seluruh umat manusia didunia ini. Ini bermakna segala-galanya menjadi milik bersama dalam konsep dunia tanpa sempadan.
Dalam era globalisasi ini, dunia semakin dikecilkan ruangnya daripada yang asal. Jika dulu dunia ini seluas mata memandang namun kini ia tidak berlaku lagi. Malah pada hari ini kita telah dapat merasakan apakah dia itu globalisasi. Ledakan teknologi yang begitu pesat merupakan medium utama kepada agenda globalisasi ini.

c.       Peranan Pancasila di Era Globalisasi
Pancasila sebagai pedoman dalam menghadapi globalisasi sebagai mana pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang sudah ditentukan oleh para pendiri negara ini haruslah menjadi sebuah acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara,berbagai tantangan dalam menjalankan ideologi pancasila juga tidak mampu untuk menggantikankan pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, pancasila terus dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai dasar negara,itu membuktikan bahwa pancasila merupakan ideologi yang sejati untuk bangsa Indonesia. Oleh karena itu tantangan di era globalisasi yang bisa mengancam eksistensi kepribadian bangsa, dan kini mau tak mau, suka tak suka, bangsa Indonesia berada di pusaran arus globalisasi dunia. Tetapi harus diingat bahwa bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jatidiri,kendati hidup ditengah-tengah pergaulan dunia. Rakyat yang tumbuh di atas kepribadian bangsa asing mungkin saja mendatangkan kemajuan, tetapi kemajuan tersebut akan membuat rakyat tersebut menjadi asing dengan dirinya sendiri. Mereka kehilangan jatidiri yang sebenarnya sudah jelas tergambar dari nilai-nilai luhur pancasila. Dalam arus globalisasi saat ini dimana tidak ada lagi batasan-batasan yang jelas antar setiap bangsa Indonesia,rakyat dan bangsa Indonesia harus membuka diri.
Dahulu, sesuai dengan tangan terbuka menerima masuknya pengaruh budaya hindu, islam, serta masuknya kaum barat yang akhirnya melahirkan kolonialisme. Pengalaman pahit berupa kolonialisme tentu sangat tidak menyenangkan untuk kembali terulang. Patut diingat bahwa pada zaman modern sekarang ini wajah kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud lain seperti penguasaan politik dan ekonomi. Meski tidak berwujud fisik, tetapi penguasaan politik dan ekonomi nasional oleh pihak asing akan berdampak sama seperti penjajahan pada masa lalu, bahkan akan terasa lebih menyakitkan. Dalam pergaulan dunia yang kian global, bangsa yang menutup diri rapat-rapat dari dunia luar bisa dipastikan akan tertinggal oleh kemajuan zaman dan kemajuan bangsa-bangsa lain. Bahkan, negara sosialis seperti Uni Soviet yang terkenal anti dunia luar tidak bisa bertahan dan terpaksa membuka diri. Maka, kini, konsep pembangunan modern harus membuat bangsa dan rakyat Indonesia membuka diri. Dalam upaya untuk meletakan dasar-dasar masyarakat modern, bangsa Indonesia bukan hanya menyerap masuknya modal, teknologi, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan, tetapi juga terbawa masuk nilai-nilai sosial politik yang berasal dari kebudayaan bangsa lain. Yang terpenting adalah bagaimana bangsa dan rakyat Indonesia mampu menyaring agar hanya nilai-nilai kebudayaan yang baik dan sesuai dengan kepribadian bangsa saja yang terserap. Sebaliknya, nilai-nilai budaya yang tidak sesuai apalagi merusak tata nilai budaya nasional mesti ditolak dengan tegas. Kunci jawaban dari persoalan tersebut terletak pada Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Bila rakyat dan bangsa Indonesia konsisten menjaga nilai-nilai luhur bangsa, maka nilai-nilai atau budaya dari luar yang tidak baik akan tertolak dengan sendirinya. Cuma, persoalannya, dalam kondisi yang serba terbuka seperti saat ini justeru jati diri bangsa Indonesia tengah berada pada titik nadir.
Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara Indonesia seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat. Sistem politik yang berkembang saat ini sangat gandrung dengan faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa Indonesia. Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya dari luar, khususnya faham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa dan rakyat Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian. Akibatnya, seperti terlihat saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para elite politik tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya semata. Dalam kondisi seperti itu sekali lagi peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri. Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut. Dalam pandangan hidup terkandung konsep mengenai dasar kehidupan yang dicita-citakan suatu bangsa. Juga terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dicita-citakan. Pada akhirnya pandangan hidup bisa diterjemahkan sebagai sebuah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa yang diyakini kebenarannya serta menimbulkan tekad bagi bangsa yang bersangkutan untuk mewujudkannya. Karena itu, dalam pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja mencontoh atau meniru model yang dilakukan bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan pandangan hidup dan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri.
VIII.  PANCASILA SEBAGAI PARADIKMA REFORMASI.
a.      Hakekat Pengertian Pancasila adalah Nilai
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental, dan menyeluruh. Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakekat maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum  universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.
Untuk mencari hakikat Pancasila adalah dengan mengamati rumusan lima sila dari Pancasila, yang sesungguhnya identik dengan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila merupakan suatu kesatuan, sila yang satu tidak bisa dilepas-lepaskan dari sila yang lain, keseluruhan sila di dalam Pancasila merupakan suatu kesatuan organis, atau suatu kesatuan keseluruhan yang bulat.
Dalam hubungannya dengan filsafat, nilai merupakan salah satu hasil pemikiran filsafat yang oleh pemiliknya dianggap sebagai hasil maksimal yang paling benar, paling bijaksana, dan paling baik. Dalam bidang pelaksanaannya (bidang operasional), nilai-nilai ini dijabarkan dalam bentuk kaidah/norma, sehingga merupakan suatu perintah/ keharusan, anjuran atau merupakan larangan/tidak diinginkan/celaan.
Hakikat esensi atau substansi dari Pancasila merupakan prinsip-prinsip yang sangat mendasar, yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Prinsip-prinsip tersebut mencakup nilai-nilai tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Prinsip-prinsip sebagai nilai-nilai dasar Pancasila tersebut mengatur tata hubungan manusia Indonesia dalam berhubungan dengan Tuhan, dirinya pribadi, dan lingkungannya.
Segera tampak bahwa nilai-nilai dasar Pancasila tidak akan mungkin memberikan penyelesaian secara memuaskan bagi setiap peristiwa dalam lapangan kehidupan manusia Indonesia. Nilai-nilai dasar itu perlu dibantu untuk dijabarkan ke dalam norma-norma yang mengandung nilai-nilai yang lebih konkret. Dalam rangka hubungan vertikal manusia dengan Tuhan misalnya, nilai-nilai dasar Pancasila itu perlu dibantu melalui saluran norma-norma agama atau kepercayaan masing-masing. Tanpa bantuan penjabaran seperti itu, mustahil nilai dasar Pancasila tentang ketuhanan dapat diberi makna secara jelas dan konkret. 
Demikian pula dalam rangka hubungan horizontal manusia Indonesia dengan manusia lain dan unsur alam semesta yang lain. Di sini antara lain berperan norma kesusilaan, norma sopan santun, dan norma hukum.
Dari uraian di atas, kita dapat melihat betapa penting kedudukan dan peranan norma-norma penunjang ini dalam proses penjabaran nilai-nilai Pancasila. Walaupun terdapat satu norma yang tingkat konkretisasinya lebih tinggi daripada norma yang lain, tetapi tetap saja norma yang satu tidak dapat menghilangkan norma lainnya. Norma hukum dapat dikatakan sebagai wujud norma yang paling konkret karena penerapannya dapat dipaksakan melalui kekuasaan publik. Kendati demikian, keberadaan norma hukum tidak boleh mengenyampingkan norma agama, kesusilaan dan sopan santun. Bahkan norma-norma itu wajib menjadi sumber bagi pembentukan norma hukum. 
Itulah sebabnya kita tidak dapat menerima apabila ada pernyataan yang berani mentolerir pelanggaran suatu norma agama, kesusilaan, atau sopan santun semata-mata karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Cara berpikir seperti itu sebenarnya sudah sejak lama ditinggalkan, termasuk di negara-negara yang paling sekuler sekalipun. Dalam lapangan hukum keperdataan, misalnya dewasa ini telah diterima luas di berbagai negara, tentang penafsiran perbuatan melanggar hukum itu lebih daripada sekadar melanggar undang-undang. Artinya mereka yang tidak mengindahkan norma kesusilaan pun dapat saja dikenakan sanksi hokum.                             
b.      Nilai-Nilai Pancasila dan UUD 1945
Pancasila sebagai dasar negara RI berarti Pancasila dijadikan dasar dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara. Selanjutnya Pancasila, sebagaimana yang termuat dalam pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam wujud berbagai aturan-aturan dasar/pokok seperti yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasalnya, yang kemudian dijabarkan lagi ke dalam berbagai ketetapan MPR serta peraturan perundang-undangan lainnya. 
Dalam kaitannya dengan fungsi Pancasila seperti tersebut di atas, pelaksanaan Pancasila mempunyai sifat mengikat dan keharusan, atau  bersifat imperatife. Artinya, sebagai norma-norma hukum yang tidak boleh dikesampingkan maupun dilanggar, dan pelanggaran atasnya dapat berakibat hukum dikenakannya suatu sanksi. Misalnya bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, penghinaan terhadap kepala negara, maupun terhadap ideologi negara Pancasila, dapat dikenakan hukuman fisik/penjara sesuai dengan berat ringannya kejahatan yang ia lakukan.
Dalam proses penjabarannya ke dalam lapangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, nilai-nilai dasar Pancasila  itu bersifat sangat  terbuka. Ia dapat diejawantahkan dalam norma-norma yang mengandung nilai-nilai yang konkret. Nilai-nilai yang lebih konkret ini sifatnya lebih fleksibel daripada nilai-nilai dasar Pancasila, karena memang interaksinya lebih intens dengan praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai dasar Pancasila yang rumusan singkatnya dituangkan dalam pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945 itu tentu saja tidak dapat ditarik penjabarannya begitu saja. Apalagi jika penjabaran itu nantinya bakal dituangkan dalam wujud norma hukum. Untuk itu diperlukan suatu pedoman yang wajib diikuti oleh setiap pembentuk hukum di negara Republik Indonesia. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila dapat dilaksanakan di dalam Undang-Undang Dasar, perundang-undangan,  yaitu dalam segala sesuatu mengenai penyelenggaraan negara.
Pedoman yang dimaksud tertuang dalam penjelasan UUD 1945, yang berbunyi “Undang-undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan dalam pasal-pasalnya”. Pedoman ini selalu mengingatkan untuk selalu mengaitkan nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 dengan pasal-pasal Batang Tubuh 1945 berikut penjelasannya sebagai  satu kesatuan yang utuh. Sebagai contoh, jika ingin menjabarkan nilai ketuhanan sebagaimana tercantum dalam sila ke-1 Pancasila atau pokok pikiran ke-4 Pembukaan UUD 1945, pertama-tama kita perlu melihat ketentuan pasal 29 Batang Tubuh UUD 1945 dan penjelasannya.
c.       Pancasila sebagai  Cita Hukum dan Staatsfundamentalnorm
Dalam ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 telah ditegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di dalam negara Republik Indonesia. Definisi sumber dari segala sumber hukum yang diberikan dalam Tap MPRS itu sangat luas, yakni pandangan hidup, kesadaran, cita hukum serta cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia, ialah cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan budi nurani manusia.









RIWAYAT HIDUP
Muhammad Syarif Al-Qadri, lahir di Benteng Selayar, 03 Mei 1992 dari pasangan Hamang Dg. Mabbiring dan Bau Daeng Syafia, merupakan anak ke-Lima dari Enam bersaudara. Pada tahun 1996 penulis memulai pendidikannya di TK Harapan 4 Mei, setelah menyelesaikan pendidikannya di TK Harapan 4 Mei, lalu melanjutkan pendidikan di jenjang Sekolah Dasar pada tahun 1997 sebagai siswa SD Negeri 1 Matahoalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di jenjang Sekolah Dasar pada tahun 2004  penulis melanjutkan pendidikannya di SMP N 3 Lambuya, Pada saat menjalani pendidikannya di SMP penulis aktif di organisasi OSIS dan PRAMUKA dalam organisasi OSIS penuis selaku ketua OSIS. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya di SMA N 1 Uepai. Dalam menjalani pendidikannya di SMA penulis pun masih aktif mengikuti organisasi OSIS dan PRAMUKA dalam organisasi OSIS penulis selaku wakil ketua osis pada periode 2007 / 2008 dan pada periode 2008 / 2009 penulis terangkat menjadi ketua Osis. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Haluoleo Kendari dan diterima di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, jurusan perikannan, program studi budidaya perairan namun gagal, selain menjalini prosel akademik penulis juga mengikuti pendidikan selam di salah satu lembaga selam internasional yaitu SSI (Scuba Schools International). Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi Swasta yang baru saja dibuka, yakni STKIP CENDEKIA TUDAONE Namun gagal di karenakan kampus tersebut tudak memiliki izin operasianal. dengan kegagalan yang terus melanda penulis terus berjuang dengan melanjutkan pendidikannya di tahun 2014 dengan penuh keyakinan penulis melanjutkan studinya di perguruan tinggi di Universitas Lakidende. Dan di terima menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, program studi Administrasi Negara.