Makalah
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
“SI TIKUS” PENGENDALI NEGRIKU
“Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pengantar Ilmu
Administrasi Negara”
Oleh
:
U M I A T I N
214 101 013
Kelas
A
PROGRAM STUDI ILMU
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU
ADMINISTRASI
UNIVERSITAS
LAKIDENDE
KONAWE
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah initepat pada waktunya.
Selawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam
makalah “Pendidikan Anti Korupsi - Si
Tikus Pengendali Negriku” kami bermaksud membahas tentang perkembangkan KKN di Indonesia, penyebab
terjadinya KKN, serta dampak yang ditimbulkan oleh KKN dimana hal inilah yang
menjadi Si Tikus “Koruptor” yang
kini mengendalikan negeriku. Adapun tujuan selanjutnya adalah untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara.
Pastinya, dalam
makalah ini akan ditemukan kelemahan-kelemahan atau bahkan kekeliruan. Dengan
itu, kami sangat
berharap adanya kritikan dan saran dari para pembaca guna
penyempurnaan isi makalah ini.
Uepai, November 2015
Penulis,
MUHAMMAD SYARIF AL-QADRI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................... 3
C.
Tujuan Penulisan ..................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
BAB
III PEMBAHASAN
A. Perkembangan KKN di Indonesia .......................................................... 6
B. Penyebab Terjadinya KKN ..................................................................... 13
C. Dampak
Terjadinya KKN ....................................................................... 20
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan
peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa
perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula
bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan
bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam.
Kejahatan
dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya.
Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang
telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini.
Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya(cybercrime), tindak
pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi
dan tindak pidana lainnya.
Salah
satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.Sesungguhnya
fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik
perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena
korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka.Salah satu bukti yang
menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan
yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat
kepada penguasa setempat.
Kemudian
setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di
Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan.
Masalah
korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang
secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu
bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat
mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa.
Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya
menyelesaikan masalah korupsi.
Di
Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.Telah banyak
gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah
seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik,
menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan
yudikatif hingga ke BUMN.
Apalagi
mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana.Mulai
dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Berangkat
dari latar belakang di atas penulis bermaksud mengulas sedikit tentang perkembangkan
KKN di Indonesia, penyebab terjadinya KKN, serta dampak yang ditimbulkan oleh
KKN dimana hal inilah yang menjadi Si Tikus “Koruptor” yang kini mengendalikan negeriku.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perkembangan KKN di Indonesia ?
2. Apa
penyebab terjadinya KKN tersebut ?
3. Dampak
apa saja yang ditimbulkan oleh KKN ?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
menganalisis penyebab terjadinya KKN di kalangan petinggi Negara.
2. Untuk
mengetahui peran serta generasi muda dalam memberantas KKN.
3. Untuk
mengetahui peranan pendidikan anti korupsi dini di kalangan generasi muda dalam
mencegah terjadinya praktik KKN.
KAJIAN PUSTAKA
Kata “korupsi” menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau
perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Perbuatan
korupsi selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dis-honest (ketidakjujuran).
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelewengan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan bahwa
korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pidana korupsi
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 2,
korupsi adalah secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 6 Ayat (1) Korupsi adalah memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili Undang-Undang.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio
dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik,
baik politikus, politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No
20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 6
kelompok yaitu :
1.
Korupsi yang terkait dengan
penggelapan dalam jabatan
2.
Korupsi yang terkait dengan
suap-menyuap
3.
Korupsi yang terkait dengan
merugikan keuangan Negara
4.
Korupsi yang terkait dengan
pemerasan
5.
Korupsi yang terkait dengan benturan
kepentingan dalam pengadaan
6.
Korupsi yang terkait dengan
perbuatan curang.
Kolusi paling sering terjadi dalam
satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja
sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel
adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi
tersembunyi.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan
tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan
kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas
tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Nepotisme adalah setiap perbuatan
pentelenggara negara secara melawan hukumyang menguntungkan kepentingan
keluarga dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan
negara. Pakar-pakar
biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah
berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan KKN di Indonesia
1.
Era sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah
sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita
dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan
perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling
membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan
lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji
merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap
Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Kebiasaan
mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 –
1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap
Belanda.Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol
(1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain.Namun, yang lebih menyedihkan
lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah)
juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.Sebut saja misalnya kasus
penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan.Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi
peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi”
dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak
manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu
sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia
mengganti sebutan CS menjadi DS.mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi
“Tanam Paksa”.
2.
Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana
sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi”
yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah
diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik
di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik
tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat
kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi.Ibarat penyakit,
sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan
belum bisa ditemukan.
Pada
era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah
pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya,
dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni
Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah
satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat
negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir
tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.Mereka berdalih agar formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha
Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).
Tahun
1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan.Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo.Tugas mereka
lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga
ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktik korupsi dan kolusi.Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari
atasan.
Dalam
kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih 11 miliar rupiah, jumlah yang cukup
signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden,
akhirnya Operasi Budhi dihentikan.Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di
Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi
yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
3.
Era Orde Baru
Pada
pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu
memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke
akar-akarnya.Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun
1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina.Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi
Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat.Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar
memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang
ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
4.
Era Reformasi
Jika
pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama
juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali
secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian,
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman,
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan
ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin
Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah
Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran
dalam upaya.pemberantasan KKN.
Di
samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan
bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
TGPTPK
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.
Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi
terbaru yang masih eksis.
Pada
tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi
Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan
dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk
terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance"
(pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan
Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai
2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak
tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut
Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana
menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana
mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang
melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island
of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan
Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU
No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif
(pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger)
bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan
pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
B.
Penyebab Terjadinya KKN
Secara harfiah, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka
yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka. Kasus-kasus korupsi di Indonesia sudah sangat banyak.Bahkan
sebagian ilmu sosial sudah menyatakan bahwa korupsi itu sudah mengakar menjadi
budaya bangsa Indonesia. Kalau benar pernyataan tersebut, tentunya akan
bertentangan dengan konsep bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur
seperti yang terkandung di Pancasila, ataupun seperti yang telah diajarkan oleh
agama-agama yang berkembang subur di Indonesia. Korupsi bukan lagi suatu
pelanggaran hukum, akan tetapi di Indonesia korupsi sudah sekedar menjadi suatu
kebiasan, hal ini karena korupsi di Indonesia berkembang dan tumbuh subur
terutama di kalangan para pejabat dari level tertinggi pejabat negara, sampai
ke tingkat RT yang paling rendah. Perkembangan yang cukup subur ini berlangsung
selama puluhan tahun.Akibatnya penyakit ini telah menjangkiti sebagian generasi
yang kemudian diturunkan ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu, salah satu
cara untuk memutuskan rantai generasi korupsi adalah dengan menjaga kebersihan
generasi muda dari jangkitan virus korupsi., Sehingga tidak heran
jika negara Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia.
Korupsi yang semakin subur dan
seakan tak pernah ada habisnya, baik ditingkat pusat sampai daerah ; merupakan
bukti nyata betapa bobroknya moralitas para pejabat pemerintahan kita. Namun
apakah korupsi hanya diakibatkan oleh persoalan moralitas belaka?Setidaknya ada
dua hal mendasar yang menjadi penyebab utama semakin merebaknya korupsi.
Pertama : mental aparat yang bobrok. Menurut www.transparansi.or.id,
terdapat banyak karakter bobrok yang menghinggapi para koruptor. Di antaranya sifat tamak.Sebagian
besar para koruptor adalah orang yang sudah cukup kaya.Namun, karena
ketamakannya, mereka masih berhasrat besar untuk memperkaya diri. Sifat tamak
ini biasanya berpadu dengan moral yang kurang kuat dan gaya hidup yang
konsumtif. Ujungnya, aparat cenderung mudah tergoda untuk melakukan
korupsi.Yang lebih mendasar lagi adalah tidak adanya iman yang kuat di dalam
tubuh aparat. Jika seorang aparat telah memahami betul perbuatan korupsi itu
haram maka kesadaran inilah yang akan menjadi self control bagi
setiap individu untuk tidak berbuat melanggar hukum Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua: kerusakan sistem politik, hukum dan
pemerintahannya. Kerusakan sistem inilah yang memberikan banyak peluang kepada
aparatur Pemerintah maupun rakyatnya untuk beramai-ramai melakukan korupsi.
Peraturan perundang-undangan korupsi yang ada justru diindikasi “mempermudah”
(Jika ada pejabat negara –setingkat bupati dan anggota DPR/D—tersangkut perkara
pidana harus mendapatkan izin dari Presiden) timbulnya korupsi karena hanya
menguntungkan kroni penguasa; kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan
yang kurang disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang
tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi
peraturan perundang-undang.
Secara
rinci beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya korupsi di Indonesia
yaitu:
·
Korupsi sudah terjadi sejak jaman dahulu (sejak awal mula berdirinya
bangsa Indonesia tahun 1945an) dan sepertinya sudah menjadi tradisi di negara
Indonesia ini. Memang pada masa itu tak terdengar ada orang yang terseret ke
pengadilan karena kasus korupsi. Namun, dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer
(Di Tepi Kali Bekasi) dan Mochtar Lubis (Maut dan Cinta) tertulis sesuai dengan
fenomena yang ia ketahui di lingkungan sekitar terdapat orang-orang yang
mengambil keuntungan dari kekayaan negara untuk dirinya sendiri ketika yang
lain berjuang mempertaruhkan jiwa dan raga untuk merebut kemerdekaan bangsa
Indonesia. Setelah tahun 1950an Pramoedya Ananta Toer kembali menulis roman
yang berjudul “Korupsi” yang mengisahkan pegawai negeri yang melakukan korupsi
secara kecil-kecilan. Kemudian di sebutkan Mr. M... seorang pegawai negeri yang
diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman karena kasus korupsi.
·
Korupsi berjalan sebagai suatu sistem yang dikerjakan secara
berjama’ah dan sangat rapi. Sejak jaman pemerintahan Soeharto, korupsi kian
marak dilakukan secara berjama’ah, saling mendukung dan saling menutupi satu
sama lain dalam suatu sitem yang rapi dan saling bekerjasama, sehingga kasus
korupsi sulit sekali terbongkar dan diselidiki. Akibatnya dalam menangani kasus
ini sangat rumit dan susah terungkap, hal tersebut dikarenakan para pelaku
korupsi merupakan orang-orang yang memiliki intelegensi tinggi (orang-orang
pintar) yang bisa memutar balikkan fakta serta menutup rapat tindakan yang
mereka lakukan.
·
Konsentrasi kekuasan, pada pengambil keputusan yang tidak
bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di
rezim-rezim yang bukan demokratik dan juga kurangnya transparansi dalam
pengambilan keputusan pemerintah yang biasanya dengan kebijakan tersebut
memungkikan para penguasa mudah dalam melakukan tndakan korupsi dan menutupi
kesalahannya.
·
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran
lebih besar dari pendanaan politik yang normal. Kampanye yang begitu mahal
dalam mencalonkan diri menjadi kepala-kepala pemerintahan baik pada tingkat
pusat maupun daerah merupakan salah satu faktor penyebab maraknya kasus korupsi
di Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka ingin mengembalikan modal dari uang
yang telah mereka kaluarkan untuk mencalonkan diri dan mengikuti kampanya.
Selain mengembalikan modal tentunya mereka juga berharap mendapatkan keuntungan
yang lebih dari modal yang telah mereka keluarkan.
·
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
Sekarang ini banyak sekali proyek-proyek pembangunan baik infrastuktur maupun
sumber daya manusia yang menggunakan uang rakyat tidak sebagaimana mestinya.
Hal ini dapat diketahui misalnya dalam hal pembangunan SDM pada acara
seminar/workshop-workshop yang mengeluarkan biaya tidak sedikit. Mereka
biasanya melakukan workshop di hotel berbintang, ditempat yang relatif jauh dan
dengan alasan refreshing sehingga menguras dana rakyat sangat besar, padahal
kebanyakan mereka disana tidak fokus untuk mengikuti workshop dalam rangka
meningkatkan pengetahuan mereka, melainkan mereka banyak menghabiskan banyak
waktu untuk berjalan-jalan, shoping, dan sebagainya. Kemudian pembangunan
infrastruktur yang tidak semestinya seperti pembangunan toilet DPR yang
menghabiskan uang puluhan juta rupiah.
·
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan
jaringan “teman lama”. Lingkungan yang tertutup sangat memungkinkan terjadinya
kasus korupsi karena mereka akan dapat dengan mudah melakukan tindakan korupsi
secara berjama’ah dalam lingkungannya sehingga orang lain yang berada diluar
jaringan sulit untuk mengontrol dan mengetahui tindakan-tindakan yang mereka
lakukan termasuk tindakan korupsi.
·
Lemahnya ketertiban hukum. Ketertiban hukun di Indonesia ini
dapat diibaratkan seperti pisau. Ia akan sangat tegas menghukum masyarakat
bawah ketika melakukan tindakan kejahatan seperti mencuri sandal jepit, mencuri
ayam, dsb. Namun untuk kelas atas yang mencuri uang rakyat sampai puluhan
bahkan ratusan juta rupiah hukum sulit sekali ditindak, sepertinya kasusnya
sangat berbelt-belit dan sulit sekali diungkap. Selain itu banyak kasus pejabat-pejabat
negara yang terlibat kasus korupsi mendapat perlakuan khusus ketika di dalam
penjara, seperti pemberian fasilitas yang mewah, dapat menyogok aparat penegak
hukum agar bisa jalan-jalan keluar tahanan bahkan sampai keluar negeri.
·
Lemahnya profesi hukum. Prosesi hukum yang sangat berbelit
belit dan sulit sekali untuk mengungkap kasus korupsi merupakan salah satu
penyebab para aparat negara untuk melakukan korupsi. Mereka tidak takut
terlibat kasus korupsi karena mereka beranggapan bahwa kasus yang akan mereka
lakukan bakal sulit terungkap atau bahkan tidak terungkap. Selain itu aparat
penegak hukum dalam melakukan tugasnya masih dapat disogok dengan sejumlah uang
agar menutupi kasusnya dan membenarkan pihak terdakwa kasus korupsi.
·
Rakyat mudah dibohongi oleh para pejabat, seperti halnya
pada saat pencalonan seorang pejabat, baik itu presiden, DPR, bupati, dll.
Mereka akan mau memilih calon tersebut apabila mereka diberi imbalan uang
(money politic).
·
Ketidak adaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan
atau “sumbangan kampanye”. Pihak kontrol di Indonesia ini sangatlah lemah,
bahkan pihak kontrol sendiri banyak yang terlibat kasus suap sehinga mereka
dapat dengan mudah membiarkan kasus-kasus kampanye dengan uang. Dan bisa
dibilang mereka membiarkn kasus suap karena mereka sendiri telah disuap.
·
Kurangnya keimanan dan ketakwaan para pemimpin dan birokrat
negara kepada Tuhan YME. Lemahnya tingkat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
YME merupakan salah satu faktor utama maraknya kasus korupsi di negeri ini.
Mereka tidak takut terhadap dosa dari perilaku yang telah mereka lakukan, jika
mereka takut terhadap dosa dan ancaman yang diberikan akibat perbuatan mereka
pasti para pemimpin dan borokrat negara ini tidak akan melakukan perbuatan
korupsi walaupun tidak ada pengawasan. Sebab mereka dengan sendirinya akan
merasa diawasi oleh Tuhan YHE dan takut terhdap ancaman dosa yang dapat
menyeret mereka dalam lembah kesengsaraan yaitu neraka.
Dengan
melihat beberapa kondisi di atas maka memang sudah sewajarnya perilaku korupsi
itu mudah timbul, berkembang dan tumbuh pesat di Indonesia. Penyebab utama dari tindakan korupsi
tersebut dikarenakan lemahnya penegak hukum di Indonesia. Indonesia banyak
memiliki undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pelarangan
tindak korupsi, akan tetapi peraturan-peraturan tersebut tidak di tegakkan dan
dijalankan secara optimal. Lemah dan rendahnya tingkat keimanan (religius),
menipisnya etika dan moral seseorang juga dapat menjadi faktor menyebabkan
seseorang mudah tergiur dengan uang, harta, kekayaan, sehingga mereka tidak
bisa membentengi diri mereka dari godaan-godaan yang mendorong mereka untuk
melakukan tindakan korupsi.
C. Dampak Terjadinya KKN
Secara umum dampak korupsi sangatlah besar baik dalam aspek politik,
ekonomi, birokrasi, kesejahteraan umum negara, termasuk terhadap masyarakat dan
individu. Dibawah ini beberapa dampak KKN dari beberapa segi, yakni sebagai berikut :
1. Ekonomi
Korupsi dapat
mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat ketidakefisienan yang tinggi.
Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari
pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan
risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga dan mengacaukan lapangan perniagaan. Perusahaan yang
memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang efisien.
Korupsi menimbulkan kekacauan dalam
sector public dengan mengalihkan investasi public ke proyek-proyek masyarakat
yang mana sogokan dan upah tersedia lebih. Korupsi mengurangi syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup dan aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintah dan infrastruktur serta menambahkan
tekanan- tekanan terhadap anggaran pemerintah.
2. Politik
Kekuasaan politik
yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin
masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Dengan demikian masyarakat
tidak akan percaya pada pemerintah dan pemimpin tersebut. Akibatnya rakyat
tidak akan patuh dan tunduk pada otoritas pemimpin. Untuk mempertahankan
kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter) atau
menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat.
Di samping itu
keadaan yang demikian akan memicu terjadinya instabilitas sosial poltik dan
integrasi sosial karena pertentangan antara penguasa dan rakyat. Bahkan dalam
banyak kasus, hal ini mengakibatkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara
tidak terhormat.
3. Birokrasi
Korupsi juga
menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi
dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dilingkungi oleh korupsi, maka prinsip
dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan kualifikasi tidak akan pernah
terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya
orang yang mempunyai uang saja yang akan mendapatkan layanan yang baik karena
mampu menyuap. Keadaan ini dapat mengakibatkan meluasnya keresahan sosial,
ketidaksetaraan sosial, dan kerahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para
birokrat.
4. Masyarakat dan
Individu
Jika korupsi dalam
suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan setiap hari, maka
akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau,
tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam
masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri. Tidak akan ada kerjasama dan
persaudaraan yang tulus.
Korupsi dapat
berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial.
Korupsi mengakibatkan perbedaan yang tajam diantara kelompok sosial dan
individu baik dalam hal pendapatan, kekuasaan, dan lain-lain. Korupsi juga
membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Jika suasana
masyarakat telah tercipta seperti demikian, maka keinginan publik untuk
berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan
mungkin akan hilang.
5. Kesejahteraan umum
negara
Korupsi politis yang
berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya
rakyat. Salah satu contohnya adalah politikus membuat peraturan yang melindungi
perusahaan besar namun merugikan perusahaa kecil. Timbulnya privatisasi
besar-besaran yang ditandai dengan dikeluarkannya berbagai undang-undang yang
merugikan rakyat seperti Undang-Undang Ketenagalistrikan, Undang-Undang
Minerba, Undang-Undang BHP, dan sebagainya dalah akibat dari korupsi politis.
Politikus-politikus ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar
yang memberi sumbangan besar pada kampanye pemilu mereka sehingga setiap
undang-undang yang dibuat hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar saja.
Dari paparan masalah di atas, dapat penulis simpulkan KKN kini sudah
meralela di negri kita tercinta, dan menjadi suatu tren dalam
berkehidupan.Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun
1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia
semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial,
kepemimpinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi.Namun sayangnya, rakyat kecil umumnya bersikap apatis dan acuh tak
acuh.Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan
demonstrasi.Fenomena umum yang biasanya terjadi di Indonesia ialah selalu
muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu.Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan
kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.Dan ironisnya,
penyumbang terbesar kasus korupsi dan nepotisme berasal dari dunia pendidikan,
dimana seharusnya instansi tersebut menjadi wadah untuk mencetak warga Negara
yang mampu membimbing Negara ini untuk lebih maju.Dampak korupsi
sangatlah besar baik dalam aspek politik, ekonomi, birokrasi, kesejahteraan
umum negara, termasuk terhadap masyarakat dan individu.
DAFTAR PUSTAKA
Alhada. 2011. Esay
Masalah Korupsi di Indonesia. Tersedia pada :http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-46147-Esay-Masalah%20Korupsi%20Di%20Indonesia.html.
Diakses pada tanggal 07 November 2015.
Anonim.
2012. Perkembangan Korupsi di Indonesia.
Tersedia pada :http://www.jualbeliforum.com/lounge/90284-perkembangan-korupsi
indonesia.html
Diakses
pada tanggal 07 November 2015.
Anonim. 2013. Rapor
Merah Sepuluh Tahun Korupsi Pendidikan. Tersedia pada :http://www.antikorupsi.org/id/content/rapor-merah-sepuluh-tahun-korupsi-pendidikan Diakses
pada tanggal 07 November 2015.
Redja, Muhammad.
2011. Fenomena Korupsi di Indonesia.
Tersedia pada :http://muhammadredja.wordpress.com/pkn/contoh-makalah/. Diakses
pada tanggal 07 November 2015.
Qadri, Muhammad Syarif Al. 2013. Tikus Berdasi “Sang Koruptor
Merajalela”. Tersedia pada :http://qadryputraselayar.blogspot.com/content/tikus-berdasi-sang-koruptor-merajalela. Diakses pada tanggal 07
November 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar