Senin, 23 November 2015

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI (SI TIKUS PENGENDALI NEGERIKU)

Makalah
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
“SI TIKUS” PENGENDALI NEGRIKU









“Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara”



Oleh :
U M I A T I N
214 101 013
Kelas A




PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS LAKIDENDE
KONAWE
2015





KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah initepat pada waktunya. Selawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam makalah “Pendidikan Anti Korupsi - Si Tikus Pengendali Negriku” kami bermaksud membahas tentang perkembangkan KKN di Indonesia, penyebab terjadinya KKN, serta dampak yang ditimbulkan oleh KKN dimana hal inilah yang menjadi  Si TikusKoruptor” yang kini mengendalikan negeriku. Adapun tujuan selanjutnya adalah untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara.
Pastinya, dalam makalah ini akan ditemukan kelemahan-kelemahan atau bahkan kekeliruan. Dengan itu, kami sangat berharap adanya kritikan dan saran dari para pembaca guna penyempurnaan isi makalah ini.

Uepai, November 2015

Penulis,
MUHAMMAD SYARIF AL-QADRI




DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................... 3
C.     Tujuan Penulisan ..................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4

BAB III PEMBAHASAN
A.    Perkembangan KKN di Indonesia .......................................................... 6
B.     Penyebab Terjadinya KKN ..................................................................... 13
C.     Dampak Terjadinya KKN ....................................................................... 20


DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam.
Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya(cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka.Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan.
Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN.
Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana.Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Berangkat dari latar belakang di atas penulis bermaksud mengulas sedikit tentang perkembangkan KKN di Indonesia, penyebab terjadinya KKN, serta dampak yang ditimbulkan oleh KKN dimana hal inilah yang menjadi  Si TikusKoruptor” yang kini mengendalikan negeriku.


B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana perkembangan KKN di Indonesia ?
2.    Apa penyebab terjadinya KKN tersebut ?
3.    Dampak apa saja yang ditimbulkan oleh KKN ?
C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk menganalisis penyebab terjadinya KKN di kalangan petinggi Negara.
2.      Untuk mengetahui peran serta generasi muda dalam memberantas KKN.
3.      Untuk mengetahui peranan pendidikan anti korupsi dini di kalangan generasi muda dalam mencegah terjadinya praktik KKN.




                                                                                                  
KAJIAN PUSTAKA
Kata “korupsi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Perbuatan korupsi selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dis-honest (ketidakjujuran). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelewengan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan bahwa korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pidana korupsi
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 2, korupsi adalah secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 6 Ayat (1) Korupsi adalah memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili Undang-Undang.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikuspolitisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 6 kelompok yaitu :
1.        Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
2.        Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3.        Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
4.        Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5.        Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
6.        Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.
Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Nepotisme adalah setiap perbuatan pentelenggara negara secara melawan hukumyang menguntungkan kepentingan keluarga dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.



BAB III
PEMBAHASAN
A.      Perkembangan KKN di Indonesia
1.    Era sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain.Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan.Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS.mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
2.    Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi.Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan.Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo.Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi.Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih 11 miliar rupiah, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

3.    Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya.Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina.Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat.Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
4.    Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
B.       Penyebab Terjadinya KKN
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai  negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Kasus-kasus korupsi di Indonesia sudah sangat banyak.Bahkan sebagian ilmu sosial sudah menyatakan bahwa korupsi itu sudah mengakar menjadi budaya bangsa Indonesia. Kalau benar pernyataan tersebut, tentunya akan bertentangan dengan konsep bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur seperti yang terkandung di Pancasila, ataupun seperti yang telah diajarkan oleh agama-agama yang berkembang subur di Indonesia. Korupsi bukan lagi suatu pelanggaran hukum, akan tetapi di Indonesia korupsi sudah sekedar menjadi suatu kebiasan, hal ini karena korupsi di Indonesia berkembang dan tumbuh subur terutama di kalangan para pejabat dari level tertinggi pejabat negara, sampai ke tingkat RT yang paling rendah. Perkembangan yang cukup subur ini berlangsung selama puluhan tahun.Akibatnya penyakit ini telah menjangkiti sebagian generasi yang kemudian diturunkan ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk memutuskan rantai generasi korupsi adalah dengan menjaga kebersihan generasi muda dari jangkitan virus korupsi., Sehingga tidak heran jika negara Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia.
Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada habisnya, baik ditingkat pusat sampai daerah ; merupakan bukti nyata betapa bobroknya moralitas para pejabat pemerintahan kita. Namun apakah korupsi hanya diakibatkan oleh persoalan moralitas belaka?Setidaknya ada dua hal mendasar yang menjadi penyebab utama semakin merebaknya korupsi. 
Pertama : mental aparat yang bobrok. Menurut www.transparansi.or.id, terdapat banyak karakter bobrok yang menghinggapi para koruptor. Di antaranya sifat tamak.Sebagian besar para koruptor adalah orang yang sudah cukup kaya.Namun, karena ketamakannya, mereka masih berhasrat besar untuk memperkaya diri. Sifat tamak ini biasanya berpadu dengan moral yang kurang kuat dan gaya hidup yang konsumtif. Ujungnya, aparat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi.Yang lebih mendasar lagi adalah tidak adanya iman yang kuat di dalam tubuh aparat. Jika seorang aparat telah memahami betul perbuatan korupsi itu haram maka kesadaran inilah yang akan menjadi self control bagi setiap individu untuk tidak berbuat melanggar hukum Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua: kerusakan sistem politik, hukum dan pemerintahannya. Kerusakan sistem inilah yang memberikan banyak peluang kepada aparatur Pemerintah maupun rakyatnya untuk beramai-ramai melakukan korupsi. Peraturan perundang-undangan korupsi yang ada justru diindikasi “mempermudah” (Jika ada pejabat negara –setingkat bupati dan anggota DPR/D—tersangkut perkara pidana harus mendapatkan izin dari Presiden) timbulnya korupsi karena hanya menguntungkan kroni penguasa; kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undang.
Secara rinci beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya korupsi di Indonesia yaitu:
·       Korupsi sudah terjadi sejak jaman dahulu (sejak awal mula berdirinya bangsa Indonesia tahun 1945an) dan sepertinya sudah menjadi tradisi di negara Indonesia ini. Memang pada masa itu tak terdengar ada orang yang terseret ke pengadilan karena kasus korupsi. Namun, dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer (Di Tepi Kali Bekasi) dan Mochtar Lubis (Maut dan Cinta) tertulis sesuai dengan fenomena yang ia ketahui di lingkungan sekitar terdapat orang-orang yang mengambil keuntungan dari kekayaan negara untuk dirinya sendiri ketika yang lain berjuang mempertaruhkan jiwa dan raga untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah tahun 1950an Pramoedya Ananta Toer kembali menulis roman yang berjudul “Korupsi” yang mengisahkan pegawai negeri yang melakukan korupsi secara kecil-kecilan. Kemudian di sebutkan Mr. M... seorang pegawai negeri yang diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman karena kasus korupsi.
·       Korupsi berjalan sebagai suatu sistem yang dikerjakan secara berjama’ah dan sangat rapi. Sejak jaman pemerintahan Soeharto, korupsi kian marak dilakukan secara berjama’ah, saling mendukung dan saling menutupi satu sama lain dalam suatu sitem yang rapi dan saling bekerjasama, sehingga kasus korupsi sulit sekali terbongkar dan diselidiki. Akibatnya dalam menangani kasus ini sangat rumit dan susah terungkap, hal tersebut dikarenakan para pelaku korupsi merupakan orang-orang yang memiliki intelegensi tinggi (orang-orang pintar) yang bisa memutar balikkan fakta serta menutup rapat tindakan yang mereka lakukan.
·       Konsentrasi kekuasan, pada pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik dan juga kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan pemerintah yang biasanya dengan kebijakan tersebut memungkikan para penguasa mudah dalam melakukan tndakan korupsi dan menutupi kesalahannya.
·       Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. Kampanye yang begitu mahal dalam mencalonkan diri menjadi kepala-kepala pemerintahan baik pada tingkat pusat maupun daerah merupakan salah satu faktor penyebab maraknya kasus korupsi di Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka ingin mengembalikan modal dari uang yang telah mereka kaluarkan untuk mencalonkan diri dan mengikuti kampanya. Selain mengembalikan modal tentunya mereka juga berharap mendapatkan keuntungan yang lebih dari modal yang telah mereka keluarkan.
·       Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar. Sekarang ini banyak sekali proyek-proyek pembangunan baik infrastuktur maupun sumber daya manusia yang menggunakan uang rakyat tidak sebagaimana mestinya. Hal ini dapat diketahui misalnya dalam hal pembangunan SDM pada acara seminar/workshop-workshop yang mengeluarkan biaya tidak sedikit. Mereka biasanya melakukan workshop di hotel berbintang, ditempat yang relatif jauh dan dengan alasan refreshing sehingga menguras dana rakyat sangat besar, padahal kebanyakan mereka disana tidak fokus untuk mengikuti workshop dalam rangka meningkatkan pengetahuan mereka, melainkan mereka banyak menghabiskan banyak waktu untuk berjalan-jalan, shoping, dan sebagainya. Kemudian pembangunan infrastruktur yang tidak semestinya seperti pembangunan toilet DPR yang menghabiskan uang puluhan juta rupiah.
·       Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”. Lingkungan yang tertutup sangat memungkinkan terjadinya kasus korupsi karena mereka akan dapat dengan mudah melakukan tindakan korupsi secara berjama’ah dalam lingkungannya sehingga orang lain yang berada diluar jaringan sulit untuk mengontrol dan mengetahui tindakan-tindakan yang mereka lakukan termasuk tindakan korupsi.
·       Lemahnya ketertiban hukum. Ketertiban hukun di Indonesia ini dapat diibaratkan seperti pisau. Ia akan sangat tegas menghukum masyarakat bawah ketika melakukan tindakan kejahatan seperti mencuri sandal jepit, mencuri ayam, dsb. Namun untuk kelas atas yang mencuri uang rakyat sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah hukum sulit sekali ditindak, sepertinya kasusnya sangat berbelt-belit dan sulit sekali diungkap. Selain itu banyak kasus pejabat-pejabat negara yang terlibat kasus korupsi mendapat perlakuan khusus ketika di dalam penjara, seperti pemberian fasilitas yang mewah, dapat menyogok aparat penegak hukum agar bisa jalan-jalan keluar tahanan bahkan sampai keluar negeri.
·       Lemahnya profesi hukum. Prosesi hukum yang sangat berbelit belit dan sulit sekali untuk mengungkap kasus korupsi merupakan salah satu penyebab para aparat negara untuk melakukan korupsi. Mereka tidak takut terlibat kasus korupsi karena mereka beranggapan bahwa kasus yang akan mereka lakukan bakal sulit terungkap atau bahkan tidak terungkap. Selain itu aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya masih dapat disogok dengan sejumlah uang agar menutupi kasusnya dan membenarkan pihak terdakwa kasus korupsi.
·       Rakyat mudah dibohongi oleh para pejabat, seperti halnya pada saat pencalonan seorang pejabat, baik itu presiden, DPR, bupati, dll. Mereka akan mau memilih calon tersebut apabila mereka diberi imbalan uang (money politic).
·       Ketidak adaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”. Pihak kontrol di Indonesia ini sangatlah lemah, bahkan pihak kontrol sendiri banyak yang terlibat kasus suap sehinga mereka dapat dengan mudah membiarkan kasus-kasus kampanye dengan uang. Dan bisa dibilang mereka membiarkn kasus suap karena mereka sendiri telah disuap.
·       Kurangnya keimanan dan ketakwaan para pemimpin dan birokrat negara kepada Tuhan YME. Lemahnya tingkat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME merupakan salah satu faktor utama maraknya kasus korupsi di negeri ini. Mereka tidak takut terhadap dosa dari perilaku yang telah mereka lakukan, jika mereka takut terhadap dosa dan ancaman yang diberikan akibat perbuatan mereka pasti para pemimpin dan borokrat negara ini tidak akan melakukan perbuatan korupsi walaupun tidak ada pengawasan. Sebab mereka dengan sendirinya akan merasa diawasi oleh Tuhan YHE dan takut terhdap ancaman dosa yang dapat menyeret mereka dalam lembah kesengsaraan yaitu neraka.
Dengan melihat beberapa kondisi di atas maka memang sudah sewajarnya perilaku korupsi itu mudah timbul, berkembang dan tumbuh pesat di Indonesia. Penyebab utama dari tindakan korupsi tersebut dikarenakan lemahnya penegak hukum di Indonesia. Indonesia banyak memiliki undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pelarangan tindak korupsi, akan tetapi peraturan-peraturan tersebut tidak di tegakkan dan dijalankan secara optimal. Lemah dan rendahnya tingkat keimanan (religius), menipisnya etika dan moral seseorang juga dapat menjadi faktor menyebabkan seseorang mudah tergiur dengan uang, harta, kekayaan, sehingga mereka tidak bisa membentengi diri mereka dari godaan-godaan yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan korupsi.
C.      Dampak Terjadinya KKN
Secara umum dampak korupsi sangatlah besar baik dalam aspek politik, ekonomi, birokrasi, kesejahteraan umum negara, termasuk terhadap masyarakat dan individu. Dibawah ini beberapa dampak KKN dari beberapa segi, yakni sebagai berikut :


1.    Ekonomi
Korupsi dapat mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga dan mengacaukan lapangan perniagaan. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang efisien.
Korupsi menimbulkan kekacauan dalam sector public dengan mengalihkan investasi public ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih. Korupsi mengurangi syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup dan aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintah dan infrastruktur serta menambahkan tekanan- tekanan terhadap anggaran pemerintah. 
2.    Politik
Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Dengan demikian masyarakat tidak akan percaya pada pemerintah dan pemimpin tersebut. Akibatnya rakyat tidak akan patuh dan tunduk pada otoritas pemimpin. Untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter) atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat.
Di samping itu keadaan yang demikian akan memicu terjadinya instabilitas sosial poltik dan integrasi sosial karena pertentangan antara penguasa dan rakyat. Bahkan dalam banyak kasus, hal ini mengakibatkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara tidak terhormat.
3.    Birokrasi
Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dilingkungi oleh korupsi, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan kualifikasi tidak akan pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya orang yang mempunyai uang saja yang akan mendapatkan layanan yang baik karena mampu menyuap. Keadaan ini dapat mengakibatkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial, dan kerahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.
4.    Masyarakat dan Individu
Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri. Tidak akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus.
Korupsi dapat berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi mengakibatkan perbedaan yang tajam diantara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, kekuasaan, dan lain-lain. Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Jika suasana masyarakat telah tercipta seperti demikian, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang.
5.    Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis yang berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat. Salah satu contohnya adalah politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar namun merugikan perusahaa kecil. Timbulnya privatisasi besar-besaran yang ditandai dengan dikeluarkannya berbagai undang-undang yang merugikan rakyat seperti Undang-Undang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Minerba, Undang-Undang BHP, dan sebagainya dalah akibat dari korupsi politis. Politikus-politikus ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberi sumbangan besar pada kampanye pemilu mereka sehingga setiap undang-undang yang dibuat hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar saja.
Dari paparan masalah di atas, dapat penulis simpulkan KKN kini sudah meralela di negri kita tercinta, dan menjadi suatu tren dalam berkehidupan.Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.Namun sayangnya, rakyat kecil umumnya bersikap apatis dan acuh tak acuh.Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi.Fenomena umum yang biasanya terjadi di Indonesia ialah selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu.Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.Dan ironisnya, penyumbang terbesar kasus korupsi dan nepotisme berasal dari dunia pendidikan, dimana seharusnya instansi tersebut menjadi wadah untuk mencetak warga Negara yang mampu membimbing Negara ini untuk lebih maju.Dampak korupsi sangatlah besar baik dalam aspek politik, ekonomi, birokrasi, kesejahteraan umum negara, termasuk terhadap masyarakat dan individu.




DAFTAR PUSTAKA

Alhada. 2011. Esay Masalah Korupsi di Indonesia. Tersedia pada :http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-46147-Esay-Masalah%20Korupsi%20Di%20Indonesia.html. Diakses pada tanggal 07 November 2015.
Anonim. 2012. Perkembangan Korupsi di Indonesia. Tersedia pada :http://www.jualbeliforum.com/lounge/90284-perkembangan-korupsi indonesia.html Diakses pada tanggal 07 November 2015.
Anonim. 2013. Rapor Merah Sepuluh Tahun Korupsi Pendidikan. Tersedia pada :http://www.antikorupsi.org/id/content/rapor-merah-sepuluh-tahun-korupsi-pendidikan Diakses pada tanggal 07 November 2015.
Redja, Muhammad. 2011. Fenomena Korupsi di Indonesia. Tersedia pada :http://muhammadredja.wordpress.com/pkn/contoh-makalah/. Diakses pada tanggal 07 November 2015.
Qadri, Muhammad Syarif Al. 2013. Tikus Berdasi “Sang Koruptor Merajalela”. Tersedia pada :http://qadryputraselayar.blogspot.com/content/tikus-berdasi-sang-koruptor-merajalela.  Diakses pada tanggal 07 November 2015.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar