Rangkuman Materi Kuliah
PENDIDIKAN
PANCASILA
Oleh
:
MUHAMMAD SYARIF AL-QADRI
12 06 00001
PROGRAM
STUDI SENDRATASIK
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
CENDEKIA
TUDAONE
KONAWE
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan ringkasan materi matakuliah
pendidikan pancasila ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Ringkasan materi kuliah ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Pend.
Pancasila.
Penulis menyadari bahwa ringkasan ini masih sangat jauh dari yang namanya kesempurnaan
maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan ringkasa materi matakuliah pendidikan pancasila ini.
Konawe, 14
November 2012
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
I.
IDEOLOGI
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN POLITIK 1
II.
PANCASILA
SEBAGAI IDOELOGI DALAM KEHIDUPAN EKONOMI 3
III.
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN
SOSIAL...................................................................................................... 5
IV.
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN BERBUDAYA 7
V.
IDEOLOGI
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN
PERTAHANAN KEAMANAN.............................................................. 10
VI.
IMPLEMENTASI
NILAI MORAL PANCASILA DALAM PENDIDIKAN 16
VII.
PANCASILA
DAN ERA GLOBALISASI ........................................... 23
VIII.
PANCASILA
SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI .................... 28
I.
IDEOLOGI
PANCA SILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN POLITIK.
Manusia
Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku
politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia
maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu
menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai
paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik
Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila).
Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral
daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut
sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan,
moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga
negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut
sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma
pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik
bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan
nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat
secara berurutan-terbalik:
·
Penerapan
dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi
dalam kehidupan sehari-hari;
·
Mementingkan
kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
·
Melaksanakan
keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan persatuan;
·
Dalam
pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan
beradab;
·
Tidak
dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan
(keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di
era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup
masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat
industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai
sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
~ nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan
kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan
sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama
dalam Astrid: 2000:3).
II.
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN EKONOMI.
Sesuai dengan paradigma pancasila
dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada
nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan
pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II
Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan
menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai
hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun
makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar
pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada
manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam
sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia
sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi
harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila
adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi
Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma
pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara
pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia.
Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau
pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau
Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan,
politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan
rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan
bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang
telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang
lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan
ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan
program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan
akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil,
demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang
demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat
melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
III.
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.
Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat
manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia
biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia
secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia
harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasar sila
persatuan Indonesia,
pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai
sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada
tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan
terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia
sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan
demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan,
diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan
nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya
komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku
bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan
regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin
keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah
NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya
nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan,
sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah:
1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun
sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang
tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang
dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul
kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
3)
Sila
Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat
majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa
yang berdaulat;
4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya
yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk
melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk
mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
5)
Sila
Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang
membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
IV.
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN BERBUDAYA.
a.
Idoelogi
pancasila.
Ideology pancasila mendasarkan pada hakikat sifat
kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Oleh karena itu
dalam ideology pancasila mengakui atas kebebasan hak-hak masyarakat. Selain itu
bahwa manusia menurut pencasila memiliki kodrat sebagaimakhluk pribadi dan
sebagai makhluk tuhan yang maha esa. Sehingga nilai-nilai ketuhanan senantiasa
menjiwai kehidupan manusia dalam hidup Negara dan masyarakat. Kebebasan manusia
dalam rangka demokrasi tidak melampaui hakekat nilai-nilai ketuhanan, bahkan
nilai ketuhanan terjalma dalam bentuk moral dan ekspresi kebebasan manusia.
Berdasarkan sifatnya ideology pancasila bersifat
terbuka yang berarti senantiasa mengantisipasi perkembangan aspirasi rakyak
sebagai pendukung ideology serta menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Ideology pancasila senantiasa merupakan wahana bagi tercapainya tujuan bangsa.
Berdasarkan cirri khas serta proses dalam rangka
membentuk suatu Negara, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu Negara yang
memiliki suatu karakteristik, cirri khas dengan keanekaragaman, sifat dan
karakternya, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu Negara yang mendasarkan
filsafat pancasila.
b.
Factor-faktor
yang menyebabkan masyarakat menolak kebudayaan.
Suatu prilaku atau budaya yang sudah menjadi
kebiasaan akan sulit untuk diubah. Masyarakat lebih menyukai kehidupan mereka
berjalan seperti biasa dan berusaha untuk mempertahankan hal-hal yang nyaman.
Kondisi ini menjadi alasan bahwa adanya hal-hal baru pada awalnya cenderung
ditolak. Sebagai contoh, orang tua kita menolak ketika kita meminta sebuah
handphone baru. Bagi mereka, kita belum cukup dewasa untuk menggunakan alat
komunikasi tersebut. Disinilah kebanyakan orang lupa bahwa alat komunikasi seperti
handphone dibutuhkan hanya semata-mata sebagai alat penghubung antar manusia
dalam berkomunikasi, dan tidak ada hubungannya dengan kedewasaan seseorang.
Tentu seorang anak balita tidak mungkin menggunakan handphone, kerena belum
mampu menguasai dan mengoperasikan alat tersebut. Pada umumnya masyarakat sulit
mengikuti perubahan yang akan merubah kebiasaan. Namun ini tidak berarti bahwa
semua perubahan selalu memdapat tentangan dari seluruh anggota masyarakat.
Ada lima factor penting yang sangat berperan dan
berpengaruh ditolaknya unsure budaya baru yaitu :
1. Kebiasaan
masyarakat berhubungan dengan masyarakat yang berbeda kebudayaan. Sikap
masyarakat yang terbuka beranekaragam kebudayaan, cenderung menghasilkan warga
masyarakat yang lebih mudah untuk menerima kebudayaan asing atau baru.
Sebaliknya, masyarakat yang tertutup lebih sulit membuka diri dan mengadakan
perubahan. Terbuka dan tertutupnya sebuah masyarakat tidak harus melalui kontak
social secara langsung. Akses terhadap media komunikasi juga menjadi factor
penentu terbuka atau tertutupnya sebuah masyarakat.
2. Unsur
budaya baru titolak jika bertentangan dengan ajaran agama. Unsur budaya baru
yang masuk diharapkan tidak merusak norma atau aturan yang ada.
3. Corak
struktur masyarakat yang menentukan
proses ditolaknya unsur kebudayaan baru. Msyarakat dengan struktur yang
otoriter akan sukar menerima setiap unsur kebudayaan baru, kecuali kebudayaan
baru tersebut langsung atau tidak langsung dirasakan manfaatnya oleh rezim yang
berkuasa. Misalnya, Myanmar dewasa ini hidup dibawah control dan kendali
kekuasaan rezim militer yang tidak demokratis. Seluruh aktifitas demokrasi
seperti demonstrasi, kebebasan pers, rapat massa, mimbar bebas, bahkan ritual
dan ajaran keagamaan semuanya di control pemerintah.
4. Unsur
kebudayaan baru mudah ditolak jika sebelumnya tidak ada unsure budaya yang
menjadi landasan bagi diterimanya unsure baru tersebut. Misalnya, sudah adanya
prasarana jalan yang bisa dilewati kendaraan bermotor di suatu daerah terpencil
akan memudahkan masuknya kendaraan-kendaraan bermotor seperti sepeda motor atau
mobil. Msyarakat setempatpun akan membeli kendaraan bermotor karena lebih
memudahkan mobilitas social dibandingkan dengan sarana transportasi tradisional
seperti kuda, dokar, dan sebagainya.demikian pula halnya dengan alat-alat
elektronik seperti telepisi, VCD/DVD player, computer, lemari es, dan lain-lain
akan mudah diterima kalau sudah ada jaringan listrik yang masuk.
5. Unsur
baru yang terbukti mempunyai kegunaan kongkrit dan terjangkau anggota masyarakat
akan mudah diterima unsure budaya baru yang terbukti memberikan guna dan bias
di jangkau. Sebaliknya unsure baru yang belum terbukti kegunaanya dan tidak
terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat lebih sulit di terima.
V.
IDEOLOGI
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN PERTAHANAN KEAMANAN.
Istilah
paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama
kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan
bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma
adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai
alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana
seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan
tersebut. Suatu paradigma
mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma
tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut
pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam
ilmu pengetahuan.
Istilah
paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu
pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan
ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,
kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan
tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai
kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan
ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,
kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan
tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai
kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
ü Pancasila sebagai paradigma
pembangunan
Pancasila
sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan
tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas
pengakuan dan penerimaan bangsa
Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar
negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup
manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar
negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup
manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai
dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah
makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang
monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. susunan
kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat
kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan
kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan
itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang
meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai
upaya peningkatan manusia secara
totalitas.
Pembangunan
sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu,
pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi
bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi,
sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Salah satu tujuan bernegara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya
oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan
keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat
semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan
secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak
dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai
dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu)
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela
negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah
diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002
tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI
telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga
kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
adanya perlindungan terhadap HAM, adanya susunan ketatanegaraan negara
yang mendasar, adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
juga mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan
Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan
bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi
positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan
berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh
MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk
perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus
mengacu pada dasar negara (sila - sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila
sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3) Persatuan Indonesia,
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dengan
demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau
penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk
hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan
merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak
dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi
cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah
Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku,
etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerjasama guna meraih dan mengisi
kemerdekaan Republik
Indonesia kita.
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan
seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut
untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan
pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada
kekuatan sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada
falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut
untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan
pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada
kekuatan sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada
falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
VI.
IMPLEMENTASI
NILAI MORAL PANCASILA DALAM PENDIDIKAN.
Penerapan Filsafat Pancasila Dalam Pendidikan Sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila
dan UUD 1945.
Hal tersebut sejalan dengan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4
menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia,
kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar
negara Indonesia. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut jelaslah bahwa
pancasila adalah Landasan Filosofi Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan nasional merupakan suatu sistem yang memuat teori praktek
pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat
bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan
cita-cita nasionalnya.
Sedangkan Pendidikan Nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur
dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas
landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi
kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita
nasional Indonesia.
Sehingga Filsafat pendidikan nasional Indonesia dapat didefinisikan sebagai
suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan
pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa
“Pancasila” yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam
usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.
Ketika berbicara pendidikan maka kita akan berbicara mengenai definisi
pendidikan. Pendidikan merupakan aktifitas rasional yang membedakan manusia dengan
makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh
instinknya. Manusia belajar dengan otaknya melalu rangkaian kegiatan menuju
pendewasaan untuk mencapai kehidupan yang lebih berarti.
Pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan
masyarakat bangsa tertentu. Karena itu diperlukan sejumlah landasan dan
asas-asas tertentu dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Beberapa
landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan
tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural,
Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk
menjemput masa depan.
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek
berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan
menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20
tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan
bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai
tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan
hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27
Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh
pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila
dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam
teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung
menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya
harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan,
setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai
ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori
praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh
orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral.
Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan
yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan
merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan
masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik
dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan
(psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan
kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek
pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan
individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan
kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama
sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta
dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya.
Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu
berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan
lengkap.
Pancasila sebagai dasar dan landasan berbagai kehidupan bangsa lahir pada
era kemerdekaan. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebenarnya sudah
sejak dulu telah mendasari aspek-aspek kehidupan bangsa Indonesia. Hal tersebut
tergambar dari kehidupan bernegara pada masa Kerajaan Majapahit dan
Sriwijaya.Pada era kebangkitan bangsa nilai-nilai pancasila telah menggugah
kesadaran nasionalime bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Pancasila sebagai sistem filsafat adalah pengungkapan dan penelaahan dunia
fisik dan dunia riil secara sistemik (menyeluruh) dan sistematis (teratur,
tersusun rapi). Pancasila memberi ajaran tata hidup manusia budaya secara
harmonis. Pancasila adalah filsafat keselarasan.
Pancasila sebagai sistem filsafat juga mempunyai ajaran-ajaran tentang
metafisika dan ontologi Pancasila, aksiologi Pancasila dan logika Pancasila.
Pokok-pokok fikiran Pendidikan Nasional adalah:
1.
Pendidikan Nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dan disebut sistem Pendidikan Pancasila.
2.
Tujuan pendidikan nasional adalah
untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan,
mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat
kebangsaan agar dapat memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat
kebangsaan.
3.
Fungsi pendidikan nasional Indonesia
adalah untuk mengembangkan warga negara Indonesia, baik sebagai pribadi maupun
anggota masyarakat, mengembangkan bangsa Indonesia dan mengembangkan kebudayaan
Indonesia.
4.
Unsur-unsur pokok pendidikan
nasional adalah pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan watak dan
kepribadian, pendidikan bahasa, pendidikan kesegaran jasmani, pendidikan
kesenian, pendidikan ilmu pengetahuan, pendidikan keterampilan, pendidikan
kewarganegaraan dan pendidikan kesadaran bersejarah.
5.
Asas-asas pelaksanaan pendidikan
nasional Indonesia adalah asas semesta, asas pendidikan seumur hidup, asas
tanggung jawab bersama, asas pendidikan, asas keselarasan dan keterpaduan
dengan ketahanan nasional dan wawasan nasional, asas Bhineka Tunggal Ika, Asas
keselarasan, keseimbangan dan keserasian, asas manfaat adil dan merata.
Konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau
upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu
secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua
secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro
sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan
berbudaya membantu pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar
bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13),
Buller, 1968:10).
Butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit
menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat
definisi pendidikan yang makro, yaitu : “Pendidikan ialah usaha sadar untuk
mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”.
Lihat pula UU S pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut “Taman
Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan
bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri
ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan
penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan
menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti
merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan
pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.Demikian bagi Ki Hajar
Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti
makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin
yang lebih luas.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan adalah suatu kebutuhan pokok bagi semua makhluk yang mempunyai
alat berpikir, yaitu akal. Bagi semua orang devinisi dari pendidikan adalah
menyekolahkan anak mereka pada sebuah sekolahan yang memberikan ilmu
pengetahuan bagi anak mereka tesebut.
Norma-norma PENDIDIKAN tersirat dan tersurat dalam Bab XIII Pasal 31
UUD 1945, Sebagai berikut :
Pasal 31
1)
Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan.
2)
Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
3)
Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
4)
Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5)
Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
Pendidikan (dalam segala jenisnya), sebagai sebuah pranata utama
pembangunan sumber daya manusia, harus jelas berperan membentuk peserta didik
menjadi aset bangsa. Dalam hal ini menjadikan manusia yang produktif dan
berpenghasilan yang siap menghadapi persaingan pada pasar global.
VII.
PANCASILA
DAN ERA GLOBALISASI.
a.
Pancasila
Pancasilan telah disahkan secara yuridis
konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar Negara RI. Pada masa Orde baru Pancasila melalui P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ), disamping dasar negara juga diberi
sebutan pandangan hidup, perjanjian luhur bangsa, tujuan yang hendak di capai,
moral pembangunan, kepribadian bangsa indonesia, dan lain-lain.
Setelah lahirnya repormasi di keluarkanlah ketetapan
MPR RI no. XVIII/MPR/1998, berisi tentang Pengembalian fungsi pancasila sebagai
dasar negara, Penghapusan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan
Penghapusan pancasila sebagai azas tungggal bagi organisasi sosial politik di
indonesia.
Pancasila juga mempunyai fungsi yang tetap yaitu
sebagai dasar negara dan juga sebagai ideologi bangsa dan negara.
b.
Era Globalisasi
Globalisasi
adalah fenomena dimana batasan-batasan antar negara seakan memudar karena
terjadinya berbagai perkembangan di segala aspek kehidupan, khususnya di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan terjadinya perkembangan berbagai aspek
kehidupan khususnya di bidang iptek maka manusia dapat pergi dan berpindah ke
berbagai negara dengan lebih mudah serta mendapatkan berbagai informasi yang
ada dan yang terjadi di dunia. Namun fenomena globalisasi ini tidak selalu
memberi dampak positif, berbagai perubahan yang terjadi akibat dari globalisasi
sudah sangat terasa,baik itu di bidang politik,ekonomi,sosial,budaya,dan
teknologi informasi. Berbagai dampak negatif terjadi dikarenakan manusia kurang
bisa memfilter dampak dari globalisasi sehingga lebih banyak mengambil hal-hal
negatif dari pada hal-hal positif yang sebenarnya bisa lebih banyak kita dapatkan
dari fenomena globalisasi ini.
Menurut Kamus Dewan globalisasi didefinisikan sebagai
fenomena yang menjadikan dunia mengecil dari segi perhubungan manusia
disebabkan kepantasan perkembangan teknologi maklumat. Manakala cediakawan
barat mentakrifkan globalisasi sebagai satu proses kehidupan yang serba luas
dan infiniti merangkumi segala aspek kehidupan seperti politik, sosial, dan
ekonomi yang boleh dirasai oleh seluruh umat manusia didunia ini. Ini bermakna
segala-galanya menjadi milik bersama dalam konsep dunia tanpa sempadan.
Dalam era globalisasi ini, dunia semakin dikecilkan
ruangnya daripada yang asal. Jika dulu dunia ini seluas mata memandang namun
kini ia tidak berlaku lagi. Malah pada hari ini kita telah dapat merasakan
apakah dia itu globalisasi. Ledakan teknologi yang begitu pesat merupakan
medium utama kepada agenda globalisasi ini.
c.
Peranan Pancasila di Era Globalisasi
Pancasila
sebagai pedoman dalam menghadapi globalisasi sebagai mana pancasila merupakan
dasar negara Indonesia yang sudah ditentukan oleh para pendiri negara ini
haruslah menjadi sebuah acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara,berbagai tantangan dalam menjalankan ideologi pancasila juga tidak
mampu untuk menggantikankan pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia,
pancasila terus dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai dasar
negara,itu membuktikan bahwa pancasila merupakan ideologi yang sejati untuk
bangsa Indonesia. Oleh karena itu tantangan di era globalisasi yang bisa
mengancam eksistensi kepribadian bangsa, dan kini mau tak mau, suka tak suka,
bangsa Indonesia berada di pusaran arus globalisasi dunia. Tetapi harus diingat
bahwa bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jatidiri,kendati hidup
ditengah-tengah pergaulan dunia. Rakyat yang tumbuh di atas kepribadian bangsa
asing mungkin saja mendatangkan kemajuan, tetapi kemajuan tersebut akan membuat
rakyat tersebut menjadi asing dengan dirinya sendiri. Mereka kehilangan
jatidiri yang sebenarnya sudah jelas tergambar dari nilai-nilai luhur pancasila.
Dalam arus globalisasi saat ini dimana tidak ada lagi batasan-batasan yang
jelas antar setiap bangsa Indonesia,rakyat dan bangsa Indonesia harus membuka
diri.
Dahulu,
sesuai dengan tangan terbuka menerima masuknya pengaruh budaya hindu, islam,
serta masuknya kaum barat yang akhirnya melahirkan kolonialisme. Pengalaman
pahit berupa kolonialisme tentu sangat tidak menyenangkan untuk kembali
terulang. Patut diingat bahwa pada zaman modern sekarang ini wajah kolonialisme
dan imperialisme tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud lain seperti
penguasaan politik dan ekonomi. Meski tidak berwujud fisik, tetapi penguasaan
politik dan ekonomi nasional oleh pihak asing akan berdampak sama seperti
penjajahan pada masa lalu, bahkan akan terasa lebih menyakitkan. Dalam
pergaulan dunia yang kian global, bangsa yang menutup diri rapat-rapat dari
dunia luar bisa dipastikan akan tertinggal oleh kemajuan zaman dan kemajuan
bangsa-bangsa lain. Bahkan, negara sosialis seperti Uni Soviet yang terkenal
anti dunia luar tidak bisa bertahan dan terpaksa membuka diri. Maka, kini,
konsep pembangunan modern harus membuat bangsa dan rakyat Indonesia membuka
diri. Dalam upaya untuk meletakan dasar-dasar masyarakat modern, bangsa
Indonesia bukan hanya menyerap masuknya modal, teknologi, ilmu pengetahuan, dan
ketrampilan, tetapi juga terbawa masuk nilai-nilai sosial politik yang berasal
dari kebudayaan bangsa lain. Yang terpenting adalah bagaimana bangsa dan rakyat
Indonesia mampu menyaring agar hanya nilai-nilai kebudayaan yang baik dan
sesuai dengan kepribadian bangsa saja yang terserap. Sebaliknya, nilai-nilai
budaya yang tidak sesuai apalagi merusak tata nilai budaya nasional mesti
ditolak dengan tegas. Kunci jawaban dari persoalan tersebut terletak pada
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Bila rakyat dan bangsa
Indonesia konsisten menjaga nilai-nilai luhur bangsa, maka nilai-nilai atau
budaya dari luar yang tidak baik akan tertolak dengan sendirinya. Cuma,
persoalannya, dalam kondisi yang serba terbuka seperti saat ini justeru jati
diri bangsa Indonesia tengah berada pada titik nadir.
Bangsa dan
rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga
budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap
bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus,
sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati
sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah
berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara
Indonesia seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB
menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan,
serta musyawarah dan mufakat. Sistem politik yang berkembang saat ini sangat
gandrung dengan faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik
berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa
Indonesia. Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa
batas. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat
semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya
dari luar, khususnya faham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati
diri bangsa dan rakyat Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba
liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian.
Akibatnya, seperti terlihat saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak
jelas. Para elite politik tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan
kelompoknya semata. Dalam kondisi seperti itu sekali lagi peran Pancasila
sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting. Pancasila
akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan
nilai-nilai Pancasila sendiri. Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang
nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap
bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan
mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan
hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang
dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut. Dalam pandangan hidup
terkandung konsep mengenai dasar kehidupan yang dicita-citakan suatu bangsa.
Juga terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai
wujud kehidupan yang dicita-citakan. Pada akhirnya pandangan hidup bisa
diterjemahkan sebagai sebuah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu
bangsa yang diyakini kebenarannya serta menimbulkan tekad bagi bangsa yang
bersangkutan untuk mewujudkannya. Karena itu, dalam pergaulan kehidupan
berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja mencontoh atau
meniru model yang dilakukan bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan pandangan
hidup dan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri.
VIII. PANCASILA SEBAGAI
PARADIKMA REFORMASI.
a.
Hakekat
Pengertian Pancasila adalah Nilai
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta
sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu
nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental, dan menyeluruh. Rumusan dari
sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakekat maknanya yang terdalam
menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum
universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.
Untuk mencari hakikat Pancasila adalah dengan
mengamati rumusan lima sila dari Pancasila, yang sesungguhnya identik dengan
pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila merupakan suatu
kesatuan, sila yang satu tidak bisa dilepas-lepaskan dari sila yang lain,
keseluruhan sila di dalam Pancasila merupakan suatu kesatuan organis, atau
suatu kesatuan keseluruhan yang bulat.
Dalam hubungannya dengan filsafat, nilai merupakan
salah satu hasil pemikiran filsafat yang oleh pemiliknya dianggap sebagai hasil
maksimal yang paling benar, paling bijaksana, dan paling baik. Dalam bidang
pelaksanaannya (bidang operasional), nilai-nilai ini dijabarkan dalam bentuk
kaidah/norma, sehingga merupakan suatu perintah/ keharusan, anjuran atau
merupakan larangan/tidak diinginkan/celaan.
Hakikat esensi atau substansi dari Pancasila
merupakan prinsip-prinsip yang sangat mendasar, yang mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Prinsip-prinsip tersebut mencakup
nilai-nilai tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Prinsip-prinsip sebagai nilai-nilai dasar Pancasila tersebut mengatur tata
hubungan manusia Indonesia dalam berhubungan dengan Tuhan, dirinya pribadi, dan
lingkungannya.
Segera tampak bahwa nilai-nilai dasar Pancasila
tidak akan mungkin memberikan penyelesaian secara memuaskan bagi setiap
peristiwa dalam lapangan kehidupan manusia Indonesia. Nilai-nilai dasar itu
perlu dibantu untuk dijabarkan ke dalam norma-norma yang mengandung nilai-nilai
yang lebih konkret. Dalam rangka hubungan vertikal manusia dengan Tuhan
misalnya, nilai-nilai dasar Pancasila itu perlu dibantu melalui saluran norma-norma
agama atau kepercayaan masing-masing. Tanpa bantuan penjabaran seperti itu,
mustahil nilai dasar Pancasila tentang ketuhanan dapat diberi makna secara
jelas dan konkret.
Demikian pula dalam rangka hubungan horizontal
manusia Indonesia dengan manusia lain dan unsur alam semesta yang lain. Di sini
antara lain berperan norma kesusilaan, norma sopan santun, dan norma hukum.
Dari uraian di atas, kita dapat melihat betapa
penting kedudukan dan peranan norma-norma penunjang ini dalam proses penjabaran
nilai-nilai Pancasila. Walaupun terdapat satu norma yang tingkat
konkretisasinya lebih tinggi daripada norma yang lain, tetapi tetap saja norma yang
satu tidak dapat menghilangkan norma lainnya. Norma hukum dapat dikatakan
sebagai wujud norma yang paling konkret karena penerapannya dapat dipaksakan
melalui kekuasaan publik. Kendati demikian, keberadaan norma hukum tidak boleh
mengenyampingkan norma agama, kesusilaan dan sopan santun. Bahkan norma-norma
itu wajib menjadi sumber bagi pembentukan norma hukum.
Itulah sebabnya kita tidak dapat menerima apabila
ada pernyataan yang berani mentolerir pelanggaran suatu norma agama,
kesusilaan, atau sopan santun semata-mata karena belum ada undang-undang yang
mengaturnya. Cara berpikir seperti itu sebenarnya sudah sejak lama
ditinggalkan, termasuk di negara-negara yang paling sekuler sekalipun. Dalam
lapangan hukum keperdataan, misalnya dewasa ini telah diterima luas di berbagai
negara, tentang penafsiran perbuatan melanggar hukum itu lebih daripada sekadar
melanggar undang-undang. Artinya mereka yang tidak mengindahkan norma
kesusilaan pun dapat saja dikenakan sanksi hokum.
b.
Nilai-Nilai
Pancasila dan UUD 1945
Pancasila sebagai dasar negara RI berarti Pancasila
dijadikan dasar dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara. Selanjutnya
Pancasila, sebagaimana yang termuat dalam pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam
wujud berbagai aturan-aturan dasar/pokok seperti yang terdapat dalam batang
tubuh UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasalnya, yang kemudian dijabarkan lagi ke
dalam berbagai ketetapan MPR serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam kaitannya dengan fungsi Pancasila seperti
tersebut di atas, pelaksanaan Pancasila mempunyai sifat mengikat dan keharusan,
atau bersifat imperatife. Artinya,
sebagai norma-norma hukum yang tidak boleh dikesampingkan maupun dilanggar, dan
pelanggaran atasnya dapat berakibat hukum dikenakannya suatu sanksi. Misalnya
bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian, pembunuhan, pemerkosaan,
penghinaan terhadap kepala negara, maupun terhadap ideologi negara Pancasila,
dapat dikenakan hukuman fisik/penjara sesuai dengan berat ringannya kejahatan
yang ia lakukan.
Dalam proses penjabarannya ke dalam lapangan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, nilai-nilai dasar
Pancasila itu bersifat sangat terbuka. Ia dapat diejawantahkan dalam norma-norma
yang mengandung nilai-nilai yang konkret. Nilai-nilai yang lebih konkret ini
sifatnya lebih fleksibel daripada nilai-nilai dasar Pancasila, karena memang
interaksinya lebih intens dengan praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Nilai-nilai dasar Pancasila yang rumusan singkatnya
dituangkan dalam pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945 itu tentu saja tidak
dapat ditarik penjabarannya begitu saja. Apalagi jika penjabaran itu nantinya
bakal dituangkan dalam wujud norma hukum. Untuk itu diperlukan suatu pedoman
yang wajib diikuti oleh setiap pembentuk hukum di negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila dapat dilaksanakan di dalam
Undang-Undang Dasar, perundang-undangan,
yaitu dalam segala sesuatu mengenai penyelenggaraan negara.
Pedoman yang dimaksud tertuang dalam penjelasan UUD
1945, yang berbunyi “Undang-undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan dalam pasal-pasalnya”. Pedoman ini selalu
mengingatkan untuk selalu mengaitkan nilai-nilai Pancasila yang terkandung
dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 dengan pasal-pasal Batang Tubuh
1945 berikut penjelasannya sebagai satu
kesatuan yang utuh. Sebagai contoh, jika ingin menjabarkan nilai ketuhanan
sebagaimana tercantum dalam sila ke-1 Pancasila atau pokok pikiran ke-4
Pembukaan UUD 1945, pertama-tama kita perlu melihat ketentuan pasal 29 Batang
Tubuh UUD 1945 dan penjelasannya.
c.
Pancasila
sebagai Cita Hukum dan
Staatsfundamentalnorm
Dalam ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 telah
ditegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di dalam negara
Republik Indonesia. Definisi sumber dari segala sumber hukum yang diberikan
dalam Tap MPRS itu sangat luas, yakni pandangan hidup, kesadaran, cita hukum
serta cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia,
ialah cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan,
keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita politik mengenai sifat,
bentuk dan tujuan negara, cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan
keagamaan sebagai pengejawantahan budi nurani manusia.
RIWAYAT
HIDUP
Muhammad Syarif Al-Qadri,
lahir di Benteng Selayar, 03 Mei 1992 dari pasangan Hamang Dg. Mabbiring dan Bau Daeng Syafia, merupakan anak ke-Lima dari Enam bersaudara. Pada tahun
1996 penulis memulai pendidikannya di TK Harapan 4 Mei, setelah menyelesaikan
pendidikannya di TK Harapan 4 Mei, lalu melanjutkan pendidikan di jenjang
Sekolah Dasar pada tahun 1997 sebagai siswa SD Negeri 1 Matahoalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di jenjang Sekolah
Dasar pada tahun 2004 penulis
melanjutkan pendidikannya di SMP N 3 Lambuya, Pada saat menjalani pendidikannya
di SMP penulis aktif di organisasi OSIS dan PRAMUKA dalam organisasi OSIS
penuis selaku ketua OSIS. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya di
SMA N 1 Uepai. Dalam menjalani pendidikannya di SMA penulis pun masih aktif
mengikuti organisasi OSIS dan PRAMUKA dalam organisasi OSIS penulis selaku
wakil ketua osis pada periode 2007 / 2008 dan pada periode 2008 / 2009 penulis
terangkat menjadi ketua Osis. Pada
tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Haluoleo Kendari dan diterima di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, jurusan perikannan, program studi budidaya perairan namun gagal, selain menjalini prosel akademik penulis juga mengikuti pendidikan selam di salah satu lembaga selam
internasional yaitu SSI (Scuba Schools International). Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi Swasta yang baru saja dibuka, yakni STKIP CENDEKIA TUDAONE Namun gagal di karenakan kampus tersebut tudak memiliki izin operasianal. dengan kegagalan yang terus melanda penulis terus berjuang dengan melanjutkan pendidikannya di tahun 2014 dengan penuh keyakinan penulis melanjutkan studinya
di perguruan tinggi di Universitas Lakidende. Dan di terima menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, program studi Administrasi Negara.