Makalah
PEREKONOMIAN
NEGARA-NEGARA
DI KAWASAN
PASIFIK SELATAN
Oleh
:
Kelompok IV
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS LAKIDENDE
KONAWE
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Selawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam makalah “Perekonomian Negara-negara di Kawasan Pasifik
Selatan” kami bermaksud membahas tentang
hubungan antar negara di kawasan pasifik selatan serta perkembangan
perekonomiannya. Adapun tujuan selanjutnya adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sistem Ekonomi
Indonesia.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari yang namanya
kesempurnaan maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah
ini.
Unaaha, Juni 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah.......................................................................................... 2
1.3 Tujuan
Penulisan............................................................................................ 2
1.4 Manfaat
Penulisan.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kerangka Analisis ......................................................................................... 3
2.2 Kronologi Kerjasama Regional Pasifik Selatan ............................................ 5
2.3 Hambatan-Hambatan dalam Proses Regionalisme Pasifik Selatan ............... 9
2.4 Kondisi Perekonomian
Negara-Negara Di Kawasan Pasifik Selatan Secara Umum 12
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 14
3.2 Saran.............................................................................................................. 15
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Semenjak berakhirnya Perang Dunia ke-II, banyak bermunculan negara-negara
baru dalam sistem internasional ini. Kebanyakan negara yang terlahir setelah
Perang Dunia ke-II adalah negara-negara miskin yang masih dalam tahap melakukan
pembangunan kembali atas negaranya yang hancur akibat kolonialisme. Kondisi ini
mengakibatkan negara-negara baru ini sangat lemah terhadap intervensi atau
dominasi dari negara-negara kuat yang memenangkan Perang Dunia ke-II. Didorong
oleh semangat self-determination (hak menentukan nasib sendiri), regionalisme
pun menjadi solusi bagi negara-negara lemah yang baru terlahir ini untuk saling
menguatkan diri dan memagari diri dari pengaruh asing. Hal inilah yang terjadi
pada negara-negara di Pasifik Selatan.
Pasifik Selatan adalah sebuah kawasan yang kebanyakan terdiri dari
negara-negara kepulauan dengan wilayah teritori yang amat kecil. Negara-negara
ini sangat rentan terhadap intervensi asing akibat kondisi geografis mereka
yang sangat strategis untuk melakukan kegiatan dagang dan untuk menaruh
pangkalan militer di masa Perang Dunia. Setelah Perang Dunia ke-II berakhir
pun, kawasan ini tetap menjadi rebutan bagi kekuatan-kekuatan besar yang
memenangkan perang. Australia, yang merupakan bagian dari Pasifik Selatan
sendiri, juga turut serta dalam usaha memperebutkan pengaruh di wilayah Pasifik
Selatan.
Regionalisme di Pasifik Selatan lahir sebagai upaya untuk membebaskan
pengaruh asing dari kawasan tersebut. Regionalisme Pasifik Selatan diawali
dengan pembentukan organisasi regional Pacific Islands Forum menggantikan
organisasi regional sebelumnya, South Pacific Commision (SPC), yang sangat
didominasi oleh pengaruh asing. Berkat Pacific Islands Forum, sejumlah
perjanjian kerjasama baik dalam bidang politik dan ekonomi di antara
negara-negara Pasifik Selatan telah tercipta. Pacific Islands Forum bahkan
berhasil membuat sebuah framework untuk meningkatkan regionalisme di kawasan
tersebut ke tingkat yang lebih tinggi lagi yang bernama Pacific Plan pada awal
abad ke-21.
Namun, Eminent Persons Group (EPG),
lembaga konsultan kawasan Pasifik, melalui review team-nya mengungkapkan bahwa
kendati telah meningkatkan kerjasama regional di Pasifik Selatan, Pacific Plan
telah gagal meningkatkan integrasi regional di Pasifik Selatan. Penilaian ini
dibuat berdasarkan fakta bahwa Pacific Island Countries Trade Agreement (PICTA)
masih belum dapat diratifikasi. Penilaian review team EPG tersebut
mengindikasikan bahwa terdapat masalah dalam perkembangan regionalisme di
Pasifik Selatan.
Berdasarkan paparan diatas maka penulis bermaksud membahas tentang
bagaimana hubungan regionalisme antar negara-negara di kawasan pasifik selatan
serta kondisi perekonomiannya.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Sudah sejauh
manakah regionalisme di Pasifik Selatan berlangsung ?
2. Apakah yang
menjadi hambatan bagi perkembangannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi ?
3. Bagaimana
kondisi perekonomian negara-negara di kawasan pasifik selatan ?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Menjelaskan
kronologi kerjasama regional di pasifik selatan.
2. Menjelaskan
mengenai hambatan-hambatan dalam perkembangan regionalsme di pasifik selatan.
3. Menjelaskan
kondisi perekonomian negara-negara di kawasan pasifik selatan secara umum.
1.4
Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat penulisan
makalah ini adalah sebagai bahan masukan serta merupakan bahan penambah wawasan dan ilmu pengaetahuan serta menggali
informasi guna mengetahui tentang pertumbuhan perekonomian negara-negara di
kawasan pasifik selatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kerangka Analisis
Kawasan adalah sebuah entitas geografis yang berkembang melalui adanya
integrasi yang berlandaskan pada kepentingan bersama. Regionalisme adalah
sebuah proses politik yang mengarah pada peningkatan integrasi dari kawasan.
Makalah ini akan menerapkan Teori Regionalisme Baru (New Regionalism Theory)
yang dikembangkan oleh Bjorn Hettne. Hettne menjelaskan regionalisme sebagai
“Sebuah proses dimana entitas geografis bertransformasi dari sekedar objek
pasif menjadi subjek aktif yang mampu untuk mengartikulasikan kepentingan
transnasional dari kawasan itu sendiri." Proses tersebut berlangsung dalam
lima fase.
1.
Regional Area.
Fase pertama dari regionalisme adalah fase prasyarat. Hettne menerangkan
bahwa untuk dapat terjadinya regionalisme, dibutuhkan sebuah ruang tempat
proses transformasi dapat berlangsung. Secara spesifik, ruang tempat
berlangsungnya proses transformasi ini mengharuskan adanya tiga kondisi, yaitu:
adanya sekumpulan orang yang tinggal berdekatan secara geografis, memiliki
suatu sumber daya alam yang dibagi bersama, dan memiliki kesamaan nilai-nilai
budaya yang terbentuk akibat sejarah. Kondisi ruang yang demikian akan memicu
terjadinya interaksi di antara orang-orang yang tinggal di dalam ruang
tersebut, sehingga proses regionalisme akan mengarah pada fase kedua, yakni
regional complex, yang akan dijelaskan di bawah.
2.
Regional Complex.
Pada fase kedua dari regionalisme, interaksi sosial yang semakin intens
mengakibatkan terbentuknya sebuah sistem sosial yang bersifat informal di dalam
kawasan. Namun, pengaruh sistem Westphalia yang berlandaskan pada kepentingan
nasional masih mempengaruhi logika berpikir negara pada fase ini. Akibatnya,
kerjasama yang terjadi pada fase ini masih dilandaskan kepada kepentingan
nasional masing-masing negara atau keuntungan relatif yang dapat diraih dari
kerjasama itu sendiri.
3.
Regional Society.
Pada fase ketiga dari regionalisme, akan terjadi formalisasi kawasan.
Interaksi yang tercipta di antara negara-negara mulai mengarah kepada interaksi
yang berdasarkan pada aturan yang disepakati bersama. Sebuah organisasi dapat
tercipta dalam fase ini untuk memfasilitasi pembuatan aturan bersama tersebut.
Dengan adanya kawasan yang semakin terorganisir, maka rasa saling percaya di
antara aktor-aktor yang ada menjadi memungkinkan. Sehingga interaksi di antara
mereka dapat diangkat ke tingkat yang lebih tinggi lagi untuk mengarah pada
satu bentuk komunitas.
4.
Regional Community.
Pada fase keempat dari regionalisme, akan tercipta homogenisasi kawasan.
Identitas bersama akan mulai dibangun pada fase ini seiring meningkatnya rasa saling
percaya di antara negara-negara yang ada di dalam kawasan. Perbatasan
antarnegara tidak lagi menjadi sekat pemisah, namun menjadi penghubung yang
semakin menyatukan kepentingan dari tiap-tiap negara. Sebaliknya, sekat pemisah
justru akan semakin terasa dalam membedakan negara yang berada di dalam kawasan
dengan yang di luar kawasan. Hal ini tidak lain tercipta karena adanya
pembentukan identitas dari kawasan tersebut.
5.
Regional State.
Pada fase terakhir dari regionalisme, interaksi, organisasi, dan homogenisasi,
yang telah terjadi pada fase sebelumnya, akan membungkus kawasan ke dalam satu
bentuk negara. Namun, regional state (negara kawasan) harus dibedakan dari
nation state (negara bangsa) yang logika politiknya merupakan standarisasi dari
satu model etnis tertentu. Negara kawasan yang tercipta dari gabungan beberapa
negara bangsa harus dapat mengkompromikan perbedaan kebudayaan dari tiap negara
dalam sebuah kebudayaan plural.
Berdasarkan kelima fase tersebut, dapat diidentifikasi bahwa faktor utama yang
dapat menyebabkan perpindahan fase regionalisme adalah intensitas interaksi
transnasional. Dalam bahasa Bjorn Hettne, intensitas interaksi transnasional
akan menciptakan sebuah perasaan yang disebut dengan kekawasanan (regionness).
Regionness dapat dipahami dengan menganalogikan kenegaraan (stateness) atau
kebangsaan (nationness). Semakin tinggi tingkat regionness, semakin tinggi pula
fase regionalisme dari sebuah kawasan. Pada
fase pertama, regionness masih belum tercipta, namun syarat-syarat yang memungkinkan
terciptanya regionness sudah terbentuk. Pada fase kedua, regionness sudah mulai
terbentuk, namun masih dilandasi oleh kepentingan nasional. Pada fase ketiga,
regionness sudah mencapai tingkat menengah, dibuktikan dengan adanya
seperangkat aturan formal yang melandasi interaksi kawasan. Pada fase keempat,
regionness sudah mencapai tingkat tinggi, dibuktikan dengan adanya identitas
bersama yang membedakan kawasan tersebut dengan kawasan lainnya. Pada fase
terakhir, regionness telah mencapai tingkat tertingginya, dibuktikan dengan
adanya sistem negara yang menjadi dasar bagi interaksi kawasan.
2.2 Kronologi
Kerjasama Regional Pasifik Selatan
Empat puluh (40) tahun terakhir semenjak berakhirnya Perang Dunia II, dunia
internasional mulai merubah bentuknya menjadi blok-blok kerjasama regional.
Kawasan Pasifik merupakan salah satu kawasan yang baru membentuk regional blok
tersebut pada awal abad ke-20. Pembentukan regional blok di kawasan Pasifik
Selatan dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II dimana negara- negara
pemenang perang berniat untuk membentuk masa depan yang cerah bagi kawasan
Pasifik Selatan. Resolusi tersebut didukung oleh Australia dan Selandia Baru
sebagai negara besar di kawasan Pasifik Selatan. Sehingga kemudian pada tahun
1947 Australia, Inggris, Perancis, Belanda, Selandia Baru dan Amerika Serikat
mendirikan South Pacific Commision (SPC) yang ditujukan untuk mendorong dan
menguatkan kerjasama internasional untuk mempromosikan sektor ekonomi dan
kesejahteraan sosial di daerah- daerah yang belum memiliki pemerintahan sendiri
di Pasifik Selatan. Organisasi ini tidak memberikan wewenang politik sama
sekali kepada negara- negara kecil di Pasifik Selatan sehingga pergerakan
negara- negara Pasifik Selatan sangat terbatas dan didominasi oleh negara-
negara pemenang Perang dunia II, terutama dalam bidang politik.
Sebagian besar aktivitas SPC berupa aktivitas perdagangan baik dalam
regional maupun ke luar regional. Salah satu kegiatan perdagangan yang terjalin
antara negara- negara Pasifik Selatan ialah pembentukan Pacific Islands
Producers Association (PIPA). Organisasi ini diinisiasi oleh para pemimpin
Pasifik Selatan dengan tujuan untuk mengintensifkan perdagangan negara- negara
pulau dengan Selandia Baru. Organisasi ini kemudian hanya bertahan hingga 8
tahun.
Adanya represi politik secara terus menerus dan keinginan yang semakin
besar dari negara-negara Pasifik Selatan untuk lebih mandiri menyebabkan
munculnya inisiatif untuk membentuk suatu organisasi regional baru tanpa
melibatkan negara- negara besar lain di luar wilayah Pasifik Selatan. Maka pada
tahun 1971 berdekatan dengan kemerdekaan Fiji, PM Ratu Sir Kamisese Mara dari
Fiji dengan dukungan Selandia Baru memimpin gerakan Pasifik Selatan untuk
mendirikan sebuah forum regional yang kemudian disebut South Pacific Forum
(SPF). Forum ini mulanya hanya terdiri dari 7 negara yaitu Australia, Cook
Islands, Fiji, Nauru, Selandia Baru, Tonga dan Samoa Barat. SPF menjadi grup
politik regional pertama di kawasan Pasifik Selatan dan kemudian lambat laut berkembang
memayungi hingga 16 negara. Pada perkembangannya SPF lebih dikenal sebagai
Pacific Islands Forum (PIF) dan ia menjadi wadah ang menampung perkembangan
interaksi negara- negara di Pasifik Selatan khusunya di bidang ekonomi.
Pembentukan Secretarian The South Pacific Bureau for Economic Coopertaion yang
kemudian menjadi PIF Secretarian pada tahun 1981 menjadi bukti bahwa focus
utama pada PIF mengarah pada kerjasama ekonomi dan proses dekolonialisasi yang
semakin menjauhkan negara-negara Pasifik Selatan dari campur tangan negara-
negara besar di luar kawasan Pasifik Selatan. Hal ini disebabkan oleh kuatnya
keinginan negara- negara di Pasifik Selatan untuk menyelenggarakan kedaulatan
yang bebas dominasi asing.
Sekretariat Pacific Islands Forum (PIF) membuka jalan bagi meningkatnya
perdagangan keluar Pasifik Selatan melalui ekspor- impor yang memicu lahirnya
kompetisi pada kawasan Pasifik Selatan itu sendiri. Sejumlah negara berhasil
melakukan ekspor-impor secara lebih lancar ketimbang yang lain sehingga muncul
persaingan dan gap dalam kepentingan nasional. Negara seperti Fiji merupakan
contoh negara di Pasifik Selatan yang telah mampu mengekspor produk dalam
negeri dan siap melakukan impor. Sedangkan negara-negara lain cenderung masih
belum mampu mengembangkan impor dan memiliki kepentingan nasional yang berbeda
dengan negara-negara mayoritas di Pasifik Selatan. Hal ini memicu kemunculan
subgroup- subgroup tertentu di dalam forum yang masing-masing mengadvokasi
kepentingan tertentu. Sebagai contoh ialah terbentunya Melanisan Spearhead Club
yaitu subgroup dengan anggota negara-negara Melanisia yang menuntut
dibebaskannya New Caledonia dan diperjelasnya perjanjian nuklir antara Pasifik
Selatan dengan negara- negara di dunia. subgroup yang lain pun mulai bermunculan
menjadi tanda adanya perpecahan dalam lingkungan forum sendiri.
Akhir Perang Dingin menjadi titik tolak perubahan bagi dominasi Australia
di Pasifik Selatan. Australia yang merupakan negara penyumbang bantuan terbesar
di kawasan Pasifik Selatan menolak memberi bantuan kecuali terdapat perbaikan
ekonomi, sosial dan pemerintahan yang signifikan di negara-negara Pasifik
Selatan. Hal ini terkait adanya Pacific Paradox yaitu kondisi bantuan melimpah
yang terdapat di Pasifik namun kemiskinan tetap tidak teratasi di kawasan
tersebut. Selain itu Australia menuntut adanya keterbukaan pasar yang dapat
memudahkan perdagangan di Pasifik Selatan. Pada mulanya, negara- negara Pasifik
Selatan menyetujui dan menerapkan strategi ini, namun karena kapasitas
negara-negara Pasifik Selatan yang memang belum mampu menuju kondisi pasar
bebas, maka satu per satu negara Pasifik Selatan meminta penundaan perdagangan
bebas dengan Australia.
Isu ini kemudian secara lebih lanjut dibahas dalam sebuah forum yang
melibatkan negara- negara anggota PIF kecuali Australia dan Selandia Baru.
Forum yang menghasilkan persetujuan Pacific Agreement on Closer Economic
Relations (PACER) berisi resolusi yang mengarah pada pembentukan integrasi
ekonomi antar negara-negara peserta forum dalam tempo waktu 8 tahun mendatang.
PACER yang diratifikasi pada 3 Oktober 2002 yang kemudian diperjelas lagi dalam
persetujuan Pacific Islands Countries Trade Agreement (PICTA) yang diratifikasi
pada tahun 2003. PICTA berisi tentang pembentukan perdagangan bebas antara
peserta forum saja. Bagi negara peserta yang sudah negara berkembang,
perdagangan bebas akan dilaksanakan dalam tempo waktu 8 tahun mendatang yaitu
pada tahun 2010. Sedangkan bagi negara-negara LDC, perdagangan bebas akan
diterapkan dalam tempo waktu 10 tahun mendatang yaitu pada tahun 2012.
Ratifikasi kedua persetujuan tersebut kemudian mengarah pada lahirnya Pacific
Plan, yaitu sebuah kerangka yang mendasari bentuk regionalisme di Pasifik
Selatan.
Jika dirunut lebih jauh, pada dasarnya PACER, PICTA dan Pacific Plan lahir
sebagai respon negara- negara Pasifik Selatan terhadap tekanan internasional
akan keterbukaan ekonomi dan dominasi Australia yang mulai terkesan mengontrol
segala gerak-gerik negara-negara Pasifik Selatan, bahkan membatasi. Australia
dituduh memanfaatkan negara-negara pulau di Pasifik Selatan sehingga
negara-negara Pasifik Selatan membutuhkan ruh yang mampu mengikat negara-negara
Pasifik Selatan agar lebih mampu mendukung kedaulatan dan kepentingan ekonomi
satu sama lain. Pada tahun 2004 Pacific Plan lahir melalui pertemuan di
Auckland Summit di Selandia Baru. Pacific Plan memiliki empat pilar utama yaitu
pertumbuhan ekonomi, perkembangan yang berkelanjutan, pemerintahan dan
keamanan. Pilar- pilar ini menunjukkan wilayah kepentingan regionalisme Pasifik
Selatan. Tujuan pembentukan Pacific Plan ini sendiri ialah untuk integrasi yang
lebih dekat sekaligus sebagai bentuk klarifikasi kembali adanya apreasiasi
regionalisme terhadap anggota Pacific Islands Forum (PIF).
Secara garis besar, Pacific Plan merupakan dasar kerangka pikir pertama
yang memberi ruh terhadap regionalisme Pasifik Selatan. Berikut merupakan
bagian dari dokumen Pacific Plan yang menyiratkan dasar pembentukan regionalisme
di Pasifik Selatan.
“The Pacific Plan is based on the concept of regionalism: that is,
countries working together for their joint and individual benefit. Regionalism
under the Pacific Plan does not imply any limitation on national sovereignty.
It is not intended to replace any national programmes, only to support and
complement them. A regional approach should be taken only if it adds value to
national efforts.”
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa pembentukan regionalisme yang
terjadi di Pasifik Selatan lebih didasari pada usaha untuk aktualisasi
kedaulatan dan menyuarakan kepentingan nasional ketimbang usaha untuk
memperjuangkan kepentingan kawasan. Hal ini secara lebih jauh menyebabkan
adanya ketidakmampuan negara-negara Pasifik Selatan untuk mengartikulasikan
kepentingan transnasional sebagai bagian dari proses regionalisme karena masih
kuatnya kepentingan nasional masing-masing negara. Secara lebih lanjut hal ini
menjadi hambatan yang membuat sulitnya realisasi regionalisme di Pasifik
Selatan akibat tidak ada struktur yang dapat memberi peraturan terhadap negara
anggota.
2.3 Hambatan-Hambatan
dalam Proses Regionalisme Pasifik Selatan
Pacific Plan merupakan sarana untuk sepenuhnya menyadari visi misi tentang
regionalisme Pasifik di masa depan. Hal ini seharusnya akan memperkuat
kerjasama dan saling berintegrasi terutama dalam hal perdagangan antara
negara-negara berdaulat wilayah Pasifik dan mengidentifikasi daerah-daerah di
mana pulau-pulau terkecil atau negara berkembang pun berhak mendapatkan yang
terbaik dari berbagi sumber daya pemerintahan di negara maju.
Negara-negara yang menandatangani Pacific Plan antara lain: Australia, Cook
Islands, Federated States of Micronesia, Fiji, Kiribati, Nauru, Selandia Baru,
Niue, Palau, Papua New Guinea, Republic of Marshal Islands, Samoa, Solomon
Islands, Tonga, Tuvalu and Vanuatu. Dalam Pacific Plan terdapat empat pilar
yang menjadi ‘living document’ atau dokumen yang hidup, maksudnya bukan hanya
sebagai untuk memandu pembangunan jangka panjang di Pasifik sebagai wilayah dan
untuk memastikan bahwa orang-orang akan membangun Pasifik dengan tujuan yang
sama untuk menjalani kehidupan berdemokrasi dan berdaulat.
Namun hingga saat ini, realisasi yang signifikan dari Pacific Paln belum
nampak sama sekali. Diduga terdapat sejumlah hambatan yang mengakibatkan sulit
terwujudnya ide Pacific Plan dalam regionalisme Pasifik Selatan. Berikut
merupakan hambatan yang hingga saat ini masih dihadapi oleh Pasifik Selatan
terkait proses regionalisme:
1.
Lack of political will and leadership. rencana
pasifik terbilang masih belum sesuai dengan visi-misi negara anggotanya. Sebab
adanya dominasi yang signifikan oleh kepentingan negara-negara yag lebih kuat
sementara negara pasifik yg berupa pulau-pulau juga belum mampu untuk memimpin
secara regional.
2.
Unsuitable development. Ada
beberapa negara yang lebih tumbuh dari segi ekonomi dibandingkan negara
lainnya: banyak negara, terkecuali Fiji dan Nauru, sangat tergantung pada
bantuan luar negeri khususnya berasal dari negara tetangga di dekatnya yakni
Australia dan Selandia Baru. sebagian besar dana bantuan luar negeri tersebut
dihabiskan untuk membiayai anggaran belanja pemerintah di negara masing-masing.
Sebab lainnya adalah transaksi pada pasar domestik tidak berlangsung secara
besar dikarenakan area yang kecil dan penduduk yang terbatas sehingga berakibat
pada pendapatan nasionalnya. Misal: Papua New Guinea. Negara tersebut memiliki
economic prosperity yang maju, namun adanya kelangkaan modal menyebabkan
rendahnya simpanan domestik dan rendahnya pendapatan perkapita. Hal ini dikarenakan
adanya keterbatasan tenaga yang terampil di bidang pemasaran luar negeri
sehingga tidak banyak investor asing yang ingin menginvestasikan uangnya atau
berbisnis di Kepulauan Pasifik.
3.
Kondisi infrastruktur yang seadanya membuat
kepulauan Pasifik sulit bertahan dalam arus globalisasi. Sumber daya manusia
yang sangat terbatas juga menjadi salah satu penyebab kurang berkembangnya
perekonomian negara-negara kepulauan ini.
4.
Framework dalam ‘Pacific Plan’ yang tidak
strategis dan cenderung normatif, seperti: mengurangi
kemiskinan, membangun sustainable trade, dan sebagainya. hal ini disebabkan
masih rendahnya solidaritas antar negara-negara anggota Pasifik.
5.
Belum ada kemauan untuk bekerja sama antara
satu negara anggota dengan negara lain dikarenakan masih sibuk dengan urusan
negara masing-masing. Australia dan Selandia Baru sempat mengusahakan akses
masuk bagi barang-barang dari negara kepulauan ke pasar-pasar Selandia Baru.
Namun volume perdagangan antar negara kepulaun Pasifik Selatan dengan Australia
dan Selandia Baru tetap tidak menunjukkan peningkatan. Kemudian Australia
berinisiatif untuk mengadakan liberalisasi perdagangan dengan cara menurunkan
tarif, bebas kuota dan lain-lain, bagi semua produk yang dihasilkan oleh
negara-negara kepulauan di kedua negara tersebut. Sekalipun demikian, sebagian
besar negara-negara kepulauan terutama yang kecil-kecil, tidak mampu
meningkatkan volume ekspor mereka. Hanya Fiji dan Nauru dapat memanfaatkan
fasilitas perdagangan tersebut.
6.
Cara bekerja SPF lebih mencerminkan norma-norma
tradisi yang berlaku dalam masyarakat kawasan Pasifik., tidak ada aturan main
yang resmi yang menyangkut maksud dan tujuan organisasi keanggotaan dan
peraturan tata-tertib sidang. Keputusan-keputusannya pun selalu ditetapkan
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat sedangkan penggunaan voting
selalu dihindari jadi belum ada perlakuan yang setara untuk setiap anggota.
2.4 Kondisi Perekonomian Negara-Negara Di Kawasan Pasifik
Selatan Secara Umum
Hubungan regionalisme antar negara merupakan salah satu pemicu perkembangan
ekonomi pada suatu negara. Melihat dari hubungan regional masing-masing negara
di kawasan pasifik selatan, dimana masih banyak hambatan-hambatan yang harus dinetralisasi
sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi perekonomian dikawasan pasifik selatan
masih sangat variatif. Hal ini dikarenakan masih adanya suatu rencana pasifik yang
terbilang masih belum sesuai dengan visi-misi negara anggotanya. Sebab adanya
dominasi yang signifikan oleh kepentingan negara-negara yag lebih kuat
sementara negara pasifik yg berupa pulau-pulau juga belum mampu untuk memimpin
secara regional.
Ada beberapa negara yang lebih tumbuh dari segi ekonomi dibandingkan negara
lainnya: banyak negara, terkecuali Fiji dan Nauru, sangat tergantung pada
bantuan luar negeri khususnya berasal dari negara tetangga di dekatnya yakni
Australia dan Selandia Baru. sebagian besar dana bantuan luar negeri tersebut
dihabiskan untuk membiayai anggaran belanja pemerintah di negara masing-masing.
Sebab lainnya adalah transaksi pada pasar domestik tidak berlangsung secara
besar dikarenakan area yang kecil dan penduduk yang terbatas sehingga berakibat
pada pendapatan nasionalnya. Misal: Papua New Guinea. Negara tersebut memiliki
economic prosperity yang maju, namun adanya kelangkaan modal menyebabkan rendahnya
simpanan domestik dan rendahnya pendapatan perkapita. Kenapa bisa langka?
Karena adanya keterbatasan tenaga yang terampil di bidang pemasaran luar negeri
sehingga tidak banyak investor asing yang ingin menginvestasikan uangnya atau
berbisnis di Kepulauan Pasifik.
Kondisi infrastruktur yang seadanya membuat
kepulauan Pasifik sulit bertahan dalam arus globalisasi. Sumber daya manusia
yang sangat terbatas juga menjadi salah satu penyebab kurang berkembangnya
perekonomian negara-negara kepulauan ini.
Framework dalam ‘Pacific Plan’ yang tidak
strategis dan cenderung normatif, seperti: mengurangi
kemiskinan, membangun sustainable trade, dan sebagainya. hal ini disebabkan
masih rendahnya solidaritas antar negara-negara anggota Pasifik.
Belum ada kemauan untuk bekerja sama antara
satu negara anggota dengan negara lain dikarenakan masih sibuk dengan urusan
negara masing-masing. Australia dan Selandia Baru sempat mengusahakan akses
masuk bagi barang-barang dari negara kepulauan ke pasar-pasar Selandia Baru.
Namun volume perdagangan antar negara kepulaun Pasifik Selatan dengan Australia
dan Selandia Baru tetap tidak menunjukkan peningkatan. Kemudian Australia
berinisiatif untuk mengadakan liberalisasi perdagangan dengan cara menurunkan
tarif, bebas kuota dan lain-lain, bagi semua produk yang dihasilkan oleh
negara-negara kepulauan di kedua negara tersebut. Sekalipun demikian, sebagian
besar negara-negara kepulauan terutama yang kecil-kecil, tidak mampu
meningkatkan volume ekspor mereka. Hanya Fiji dan Nauru dapat memanfaatkan
fasilitas perdagangan tersebut.
Cara bekerja SPF lebih mencerminkan norma-norma
tradisi yang berlaku dalam masyarakat kawasan Pasifik., tidak ada aturan main
yang resmi yang menyangkut maksud dan tujuan organisasi keanggotaan dan
peraturan tata-tertib sidang. Keputusan-keputusannya pun selalu ditetapkan
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat sedangkan penggunaan voting
selalu dihindari jadi belum ada perlakuan yang setara untuk setiap anggota.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan terkait hambatan-hambatan yang dialami dalam
regionalisme Pasifik Selatan, maka dapat disimpulkan bahwa saat ini
regionalisme di kawasan tersebut baru mencapai fase kedua atau fase regional
complex dalam Teori Regionalisme Baru. Pasifik Selatan memang sudah memiliki
organisasi regional dengan peraturan-peraturannya, namun peraturan tersebut
masih belum dapat membentuk perilaku negara-negara Pasifik Selatan agar sesuai
seperti yang disepakati dalam peraturan itu sendiri. Letak geografis dapat dikatakan
merupakan salah satu kendala internal bagi regionalisme Pasifik Selatan. letak
geografis kepulauan di Pasifik Selatan hanya terdapat pulau-pulau yang sangat
kecil, berjumlah banyak dan berpenduduk sedikit. timbul permasalahan di bidang
transportasi misalnya untuk melewati daerah satu ke yang lainnya membutuhkan
waktu yang lama dan jarak yang jauh. Zona iklimnya pun sangat memungkinkan
terjadinya bencana alam secara periodik seperti badai, banjir, angin topan,
bahkan kekeringan.
Hal ini belum ditambah dengan permasalahan kebudayaan. Mengingat perbedaan
area berarti berbeda kebiasaan dan kebudayaan. Tradisi tiap-tiap negara dan
wilayah-wilayah di Kepulauan Pasifik memliki banyak perbedaan. Apabila mereka
kurang saling memahami dalam hal adat dan kebiasaan, interaksi sosial akan
semakin sulit untuk terwujud dan proses modernisasi pun akan semakin jauh dari
tercapai. Pertumbuhan penduduk dapat menemui permasalahan ketika lapangan
pekerjaan tidak tersedia dan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. (emigrasi
penduduk Cook Island dan Niue ). Meskipun secara teori, anggota-anggotanya
sudah secara konsisten membicarakan tentang penggabungan nilai-nilai budaya dan
norma dalam pembangunan di wilayah tersebut namun belum ada implementasi secara
nyata. Dapat dikatakan, hal ini disebabkan adanya dominasi forum oleh negara
atau pemimpin yang tidak melihat budaya secara prioritas, dengan penekanan pada
solidaritas dan jaringan komunikasi. Dengan melihat permasalahan-permasalahan
yang masih ada, maka perkembangan regionalisme Pasifik Selatan ke depannya
menjadi meragukan.
Melihat dari hubungan regional masing-masing negara di kawasan pasifik
selatan, dimana masih banyak hambatan-hambatan yang harus dinetralisasi serta
perkembangannya yang masih meragukan sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi
perekonomian dikawasan pasifik selatan masih sangat variatif.
3.2
Saran
Makalah ini
akan menjadi bahan masukan serta
merupakan bahan tambahan ilmu
pengaetahuan dan wawasan para pembaca dalam mengkaji dan mengamati hubungan
antar negara di kawasan pasifik selatan serta perkembangan perekonomiannya, maka dari itu penulis menyarankan agar pembaca
benar-benar menyimak isi dari makalah ini jika terdapat persoalan-persoalan yang agak rumpang
penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun demi penyempurnaan isi
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 1991. Kondisi
Kawasan Asia Pasifik Pasca Perang Dunia. Djakarta : Balai Pustaka.
Bachtiar.
1994. Sistem Ekonomi Liberal. Jakarta
: Balai Pustaka.
Romli,
Abidin. 1997. Membangun Kerjasama Ekonomi
Antar Negara. Jakarta : Tiga Serangkai
Sudaryanto. 1995. Pengantar
Ilmu Politik. Bandung : Alfabeta
Syaikhunah,
Ahmad. 1987. Mekanisme Membangun
Kerjasama. Jakarta : Gramedia.
LAMPIRAN
Daftar
Nama-Nama Kelompok IV :
No.
|
N A M A
|
NO. STAMBUK
|
KET.
|
1.
|
Muhammad Syarif Al-Qadri
|
214 101 040
|
|
2.
|
Ardiansyah
|
214 101 042
|
|
3.
|
Aldriansah
|
214 101 044
|
|
4.
|
Aspriadi Mahan
|
214 101 046
|
|
5.
|
Restu Setiadi
|
214 101 048
|
|
6.
|
Saverinus Raga
|
214 101 050
|
|
7.
|
Eka Faksi Maranai
|
214 101 052
|
|
8.
|
Nur Indah Masid
Silondae
|
214 101 056
|
|
9.
|
Hamrun
|
214 101 058
|
|
10.
|
Rika Nur Istikomah
|
214 101 060
|
|
11.
|
Asni Sepdiani T.
|
214 101 062
|
|
12.
|
Viona Olivia K.
|
214 101 066
|
|
13.
|
Linda
|
214 101 072
|
|
14.
|
Asrul Yusuf
|
214 101 076
|
|
15.
|
Ardianto
|
214 101 079
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar